Warung Bebas

Senin, 23 Februari 2009


SIRIH MERAH SEBAGAI TANAMAN OBAT MULTI FUNGSI

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang tumbuh berselang-seling dari batangnya serta penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fito-kimia yakni alkoloid, saponin, ta-nin dan flavonoid. Sirih merah sejak dulu telah digunakan oleh masyarakat yang berada di Pulau Jawa sebagai obat untuk meyem-buhkan berbagai jenis penyakit dan merupakan bagian dari acara adat. Penggunaan sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak kapsul. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes mi-litus, hepatitis, batu ginjal, me-nurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, ra-dang liver, radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak hingga dosis 20 g/kg berat badan, aman dikonsumsi dan tidak bersifat toksik. Sirih merah banyak di-gunakan pada klinik herbal center sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat di-sembuhkan dengan obat kimia. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat moderen.


Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang tumbuh berselang-seling dari batangnya serta penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fito-kimia yakni alkoloid, saponin, ta-nin dan flavonoid. Sirih merah sejak dulu telah digunakan oleh masyarakat yang berada di Pulau Jawa sebagai obat untuk meyem-buhkan berbagai jenis penyakit dan merupakan bagian dari acara adat. Penggunaan sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak kapsul. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes mi-litus, hepatitis, batu ginjal, me-nurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, ra-dang liver, radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak hingga dosis 20 g/kg berat badan, aman dikonsumsi dan tidak bersifat toksik. Sirih merah banyak di-gunakan pada klinik herbal center sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat di-sembuhkan dengan obat kimia. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat moderen.

Tanaman sirih mempunyai banyak spesies dan memiliki jenis yang beragam, seperti sirih gading, sirih hijau, sirih hitam, sirih kuning dan sirih merah. Semua jenis tanaman sirih memiliki ciri yang hampir sama yaitu tanamannya merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai yang tumbuh berselang seling dari batangnya.

Sirih merah (Piper crocatum) adalah salah satu tanaman obat potensial yang sejak lama telah di-ketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, disamping itu juga memiliki nilai-nilai spritual yang tinggi. Sirih merah termasuk dalam satu elemen penting yang harus disediakan dalam setiap upacara adat khususnya di Jogyakarta. Tanaman ini termasuk di dalam famili Pipe-raceae dengan penampakan daun yang berwarna merah keperakkan dan mengkilap saat kena cahaya.

Sirih merah tumbuh merambat di pagar atau pohon. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian ujung daun meruncing. Permukaan daun meng-kilap dan tidak merata. Yang mem-bedakan dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah keperakan, bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi.

Ramuan sirih merah telah lama dimanfaatkan oleh lingkungan kra-ton Jogyakarta sebagai tanaman obat yang beguna untuk ngadi saliro. Pada tahun 1990-an sirih merah di-fungsikan sebagai tanaman hias oleh para hobis, karena penampilannya yang menarik. Permukaan daunnya merah keperakan dan mengkilap. Pada tahun-tahun terakhir ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan se-bagai tanaman obat. Dari beberapa pengalaman, diketahui sirih merah memiliki khasiat obat untuk berbagai penyakit. Dengan ramuan sirih merah telah banyak masyarakat yang tersembuhkan dari berbagai pe-nyakit. Oleh karena itu banyak orang yang ingin membudidayakannya.

Aspek budidaya

Sirih merah dapat diperbanyak secara vegetatif dengan penyetekan atau pencangkokan karena tanaman ini tidak berbunga. Penyetekan dapat dilakukan dengan menggunakan sulur dengan panjang 20 - 30 cm. Sulur sebaiknya dipilih yang telah mengeluarkan akar dan mempunyai 2 - 3 daun atau 2 - 3 buku. Untuk mengurangi penguapan, daun di ku-rangi sebagian atau buang seluruh-nya. Sulur diambil dari tanaman yang sehat dan telah berumur lebih dari setahun. Cara perbanyakan dengan dengan setek dapat dilakukan dengan me-nyediakan media tanam berupa pasir, tanah dan kompos dengan perban-dingan 1 : 1 : 1. media tersebut di-masukkan ke dalam polibeg berdi ameter 10 cm yang bagian bawah-nya sudah dilubangin. Setek yang telah dipotong-potong direndam dalam air bersih selama lebih kurang 15 menit. Setek ditanam pada poli-beg yang telah berisi media tanam. Letakkan setek ditempat yang teduh dengan penyinaran matahari lebih kurang 60%.

Perbanyakan dengan cara pen-cangkokan dilakukan dengan me-milih cabang yang cukup tua kira-kira 15 cm dari batang pokoknya, kemudian cabang tersebut diikat atau dibalut ijuk atau sabut kelapa yang dapat menghisap air. Pencangkokan tidak perlu mengupas kulit batang. Cangkok diusahakan selalu basah agar akarnya cepat tumbuh dan ber-kembang. Cangkok dapat dipotong dan ditanaman di polibeg apabila akar yang muncul sudah banyak. Untuk tempat menjalar dibuat ajir dari batang kayu atau bambu. Penyiraman dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari tergantung cuaca.

Penanaman di lapangan dilaku-kan pada awal musim hujan dan sebagai tiang panjat dapat digunakan tanaman dadap dan kelor. Jarak tanam dapat digunakan 1 x 1 m, 1 x 1,5 m tergantung kondisi lahan.

Sirih merah dapat beradaptasi de-ngan baik di setiap jenis tanah dan tidak terlalu sulit dalam pemelihara-annya. Selama ini umumnya sirih merah tumbuh tanpa pemupukan. Yang penting selama pertumbuhan-nya di lapangan adalah pengairan yang baik dan cahaya matahari yang diterima sebesar 60 - 75%.


Penangan pasca panen

Tanaman sirih merah siap untuk dipanen minimal berumur 4 bulan, pada saat ini tanaman telah mem-punyai daun 16 - 20 lembar. Ukuran daunnya sudah optimal dan panjang-nya mencapai 15 - 20 cm. Daun yang akan dipanen harus cukup tua, bersih dan warnanya mengkilap karena pada saat itu kadar bahan aktifnya sudah tinggi. Cara pemetikan di-mulai dari daun tanaman bagian bawah menuju atas.

Setelah dipetik, daun disortir dan direndam dalam air untuk mem-bersikan kotoran dan debu yang me-nempel, kemudian dibilas hingga bersih dan ditiriskan. Selanjutnya daun dirajang dengan pisau yang tajam, bersih dan steril, dengan lebar irisan 1 cm. Hasil rajangan dikering anginkan di atas tampah yang telah dialas kertas sampai kadar airnnya di bawah 12%, selama lebih kurang 3 - 4 hari. Rajangan daun yang telah kering dimasukkan ke dalam kan-tong plastik transparan yang kedap air, bersama-sama dimasukan silika gel untuk penyerap air, kemudian di-tutup rapat. Kemasan diberi label tanggal pengemasan selanjutnya di-simpan di tempat kering dan bersih. Dengan penyimpanan yang baik simplisia sirih merah dapat bertahan sampai 1 tahun.

Cara penggunaan simplisia sirih merah yaitu dengan merebus se-banyak 3 - 4 potongan rajangan dengan satu gelas air sampai men-didih. Setelah mendidih, rebusan ter-sebut disaring dan didinginkan. Penggunaan sirih merah dapat dilakukan selain dalam bentuk sim-plisia juga dalam bentuk teh, serbuk, dan ekstrak kapsul.

Pembuatan serbuk sirih merah yaitu diambil dari simplisia yang telah kering kemudian digiling dengan menggunakan grinder men-capai ukuran 40 mesh. Pengemasan dilakukan pada kantong plastik transparan dan diberi label. Sedang-kan ekstrak kapsul dibuat dari hasil serbuk yang di ekstrak dengan menggunakan etanol 70%. Ekstrak kental yang didapat ditambahkan bahan pengisi tepung beras 50% dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 400C, setelah kering dimasukkan ke dalam kapsul.

Kandungan kimia

Tanaman memproduksi berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan me-tabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mem-punyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid, fla-vonoid, cyanogenic, glucoside, glu-cosinolate dan non protein amino acid. Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang paling banyak di produksi tanaman. Alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bagian dari sistim heterosiklik. Nenek moyang kita telah memanfaatkan alkaloid dari tanaman sebagai obat. Sampai saat ini semakin banyak alkaloid yang ditemukan dan diisolasi untuk obat moderen.

Para ahli pengobatan tradisional telah banyak menggunakan tanaman sirih merah oleh karena mempunyai kandungan kimia yang penting untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkoloid, saponin, tanin dan flavonoid. Dari buku ”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic” dilaporkan bahwa senyawa alko-koloid dan flavonoid memiliki ak-tivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah.

Kandungan kimia lainnya yang terdapat di daun sirih merah adalah minyak atsiri, hidroksikavicol, kavi-col, kavibetol, allylprokatekol, kar-vakrol, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, ter-penena, dan fenil propada. Karena banyaknya kandungan zat/senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Karvakrol bersifat desinfektan, anti jamur, sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan keputihan. Eugenol dapat di-gunakan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan tanin dapat diguna-kan untuk mengobati sakit perut.

Sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi

Sejak jaman nenek moyang kita dahulu tanaman sirih merah telah diketahui memiliki berbagai khasiat obat untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, di samping itu sirih merah memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi. Sirih merah diperguna-kan sebagai salah satu bagian pen-ting yang harus disediakan dalam setiap upacara adat ”ngadi saliro”. Air rebusannya yang mengandung antiseptik digunakan untuk menjaga kesehatan rongga mulut dan me-nyembuhkan penyakit keputihan ser-ta bau tak sedap.

Penelitian terhadap tanaman sirih merah sampai saat ini masih sangat kurang terutama dalam pengembang-an sebagai bahan baku untuk bio-farmaka. Selama ini pemanfaatan sirih merah di masyarakat hanya ber-dasarkan pengalaman yang dilaku-kan secara turun temurun dari orang tua kepada anak atau saudara ter-dekat secara lisan. Di Jawa, ter-utama di Kraton Jogyakarta, tanam-an sirih merah telah dikonsumsi sejak dahulu untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Bedasarkan pengalaman suku Jawa tanaman sirih merah mempunyai manfaat me-nyembukan penyakit ambeien, ke-putihan dan obat kumur, alkaloid di dalam sirih merah inilah yang berfungsi sebagai anti mikroba.

Selain bersifat antiseptik sirih merah juga bisa dipakai mengobati penyakit diabetes, dengan meminum air rebusan sirih merah setiap hari akan menurunkan kadar gula darah sampai pada tingkat yang normal. Kanker merupakan penyakit yang cukup banyak diderita orang dan sangat mematikan, dapat disembuh-kan dengan menggunakan serbuk atau rebusan dari daun sirih merah. Beberapa pengalaman di masyarakat menunjukkan bahwa sirih merah dapat menurunkan penyakit darah tinggi, selain itu juga dapat menyem-buhkan penyakit hepatitis.

Sirih merah dalam bentuk teh herbal bisa mengobati asam urat, kencing manis, maag dan kelelahan, ini telah dilakukan oleh klinik herbal senter yang ada di Jogyakarta, di mana pasiennya yang berobat sem-buh dari diabetes karena meng-konsumsi teh herbal sirih merah. Sirih merah juga sebagai obat luar dapat memperhalus kulit.

Secara empiris diketahui tanaman sirih merah dapat menyembuhkan penyakit batu ginjal, kolesterol, asam urat, serangan jantung, stroke, radang prostat, radang mata, masuk angin dan nyeri sendi.

Hasil uji praklinis pada tikus dengan pemberian ekstrak hingga dosis 20 g/kg berat badan, aman dikonsumsi dan tidak bersifat toksik, pada dosis tersebut mampu me-nurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar 34,3%. Lebih tinggi penu-runannya dibandingkan dengan pem-berian obat anti diabetes militus komersial Daonil 3,22 mml/kg yang hanya menurunkan 27% glukosa darah tikus. Hasil uji praklinis pada tikus, dapat di pakai sebagai acuan penggunaan pada orang yang men-derita kencing manis. Saat ini sudah cukup banyak klinik herbal center yang menggunakan sirih merah sebagai ramuan atau terapi yang berkhasiat dan manjur untuk pe-nyembuhan berbagai jenis penyakit


Penutup

Tanaman sirih merah mempunyai banyak manfaat dalam pengobatan tradisional, mempunyai potensi me-nyembukan berbagai jenis penyakit. Banyak pengalaman bahwa meng-gunakan sirih merah dalam bentuk segar, simplisia maupun ekstrak kapsul dapat menyembuhkan penya-kit diabetes militus, hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, men-cegah stroke, asam urat, hipertensi, radang liver, radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Tanaman sirih merah dapat dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah sehingga mudah dikembangkan dalam skala besar (Sumber: Feri Manoi, Warta Puslitbangbun Vol.13 No. 2, Agustus 2007).
Terakhir Diperbaharui ( Sunday, 17 February 2008 )

Sabtu, 21 Februari 2009

How to Eat Grains

Our story begins in East Africa in 1935, with two Bantu tribes called the Kikuyu and the Wakamba. Their traditional diets were mostly vegetarian and consisted of sweet potatoes, corn, beans, plantains, millet, sorghum, wild mushrooms and small amounts of dairy, small animals and insects. Their food was agricultural, high in carbohydrate and low in fat.

Dr. Weston Price found them in good health, with well-formed faces and dental arches, and a dental cavity rate of roughly 6% of teeth. Although not as robust or as resistant to tooth decay as their more carnivorous neighbors, the "diseases of civilization" such as cardiovascular disease and obesity were nevertheless rare among them. South African Bantu eating a similar diet have a low prevalence of atherosclerosis, and a measurable but low incidence of death from coronary heart disease, even in old age.

How do we reconcile this with the archaeological data showing a general decline in human health upon the adoption of agriculture? Humans did not evolve to tolerate the toxins, anti-nutrients and large amounts of fiber in grains and legumes. Our digestive system is designed to handle a high-quality omnivorous diet. By high-quality, I mean one that has a high ratio of calories to indigestible material (fiber). Our species is very good at skimming off the highest quality food in nearly any ecological niche. Animals that are accustomed to high-fiber diets, such as cows and gorillas, have much larger, more robust and more fermentative digestive systems.

One factor that reconciles the Bantu data with the archaeological data is that much of the Kikuyu and Wakamba diet came from non-grain sources. Sweet potatoes and plantains are similar to the starchy wild plants our ancestors have been eating for nearly two million years, since the invention of fire (the time frame is debated but I think everyone agrees it's been a long time). Root vegetables and starchy fruit ted to have a higher nutrient bioavailibility than grains and legumes due to their lower content of anti-nutrients.

The second factor that's often overlooked is food preparation techniques. These tribes did not eat their grains and legumes haphazardly! This is a factor that was overlooked by Dr. Price himself, but has been emphasized by Sally Fallon. Healthy grain-based African cultures often soaked, ground and fermented their grains before cooking, creating a porridge that's nutritionally superior to unfermented grains. The bran was removed from corn and millet during processing, if possible. Legumes were always soaked prior to cooking.

These traditional food processing techniques have a very important effect on grains and legumes that brings them closer in line with the "paleolithic" foods our bodies are designed to digest. They reduce or eliminate toxins such as lectins and tannins, greatly reduce anti-nutrients such as phytic acid and protease inhibitors, and improve vitamin content and amino acid profile. Fermentation is particularly effective in this regard. One has to wonder how long it took the first agriculturalists to discover fermentation, and whether poor food preparation techniques or the exclusion of animal foods could account for their poor health.

I recently discovered a paper that illustrates these principles: "Influence of Germination and Fermentation on Bioaccessibility of Zinc and Iron from Food Grains". It's published by Indian researchers who wanted to study the nutritional qualities of traditional fermented foods. One of the foods they studied was idli, a South Indian steamed "muffin" made from rice and beans. 

The amount of minerals your digestive system can extract from a food depends in part on the food's phytic acid content. Phytic acid is a molecule that traps certain minerals (iron, zinc, magnesium, calcium), preventing their absorption. Raw grains and legumes contain a lot of it, meaning you can only absorb a fraction of the minerals present in them.

In this study, soaking had a modest effect on the phytic acid content of the grains and legumes examined. Fermentation, on the other hand, completely broke down the phytic acid in the idli batter, resulting in 71% more bioavailable zinc and 277% more bioavailable iron. It's safe to assume that fermentation also increased the bioavailability of magnesium, calcium and other phytic acid-bound minerals.

Fermenting the idli batter also completely eliminated its tannin content. Tannins are a class of molecules found in many plants that are sometimes toxins and anti-nutrients. In sufficient quantity, they reduce feed efficiency and growth rate in a variety of species.

Lectins are another toxin that's frequently mentioned in the paleolithic diet community. They are blamed for everything from digestive problems to autoimmune disease. One of the things people like to overlook in this community is that traditional processing techniques such as soaking, sprouting, fermentation and cooking, greatly reduce or eliminate lectins from grains and legumes. One notable exception is gluten, which survives all but the longest fermentation and is not broken down by cooking.

Soaking, sprouting, fermenting, grinding and cooking are the techniques by which traditional cultures have been making the most of grain and legume-based diets for thousands of years. We ignore these time-honored traditions at our own peril.

Sejarah Hacker

Hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisa, dan selanjutnya bila menginginkan, bisa membuat, memodifikasi, atau bahkan mengeksploitasi sistem yang terdapat di sebuah perangkat seperti perangkat lunak komputer dan perangkat keras komputer seperti program komputer, administrasi dan hal-hal lainnya , terutama keamanan.

Sejarah Hacker
Terminologi hacker muncul pada awal tahun 1960-an diantara para anggota organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT). Kelompok mahasiswa tersebut merupakan salah satu perintis perkembangan teknologi komputer dan mereka berkutat dengan sejumlah komputer mainframe. Kata hacker pertama kalinya muncul dengan arti positif untuk menyebut seorang anggota yang memiliki keahlian dalam bidang komputer dan mampu membuat program komputer yang lebih baik ketimbang yang telah dirancang bersama.

Kemudian pada tahun 1983, istilah hacker berubah menjadi negatif. Pasalnya, pada tahun tersebut untuk pertama kalinya FBI menangkap kelompok kriminal komputer The 414s yang berbasis di Milwaukee AS. 414 merupakan kode area lokal mereka. Kelompok yang kemudian disebut hacker tersebut dinyatakan bersalah atas pembobolan 60 buah komputer, dari komputer milik Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering hingga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos. Satu dari pelaku tersebut mendapatkan kekebalan karena testimonialnya, sedangkan 5 pelaku lainnya mendapatkan hukuman masa percobaan.

Kemudian pada perkembangan selanjutnya muncul kelompok lain yang menyebut-nyebut diri hacker, padahal bukan. Mereka ini (terutama para pria dewasa) yang mendapat kepuasan lewat membobol komputer dan mengakali telepon (phreaking). Hacker sejati menyebut orang-orang ini 'cracker' dan tidak suka bergaul dengan mereka. Hacker sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas. Hacker sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa dengan menerobos keamanan seseorang telah menjadi hacker.

Para hacker mengadakan pertemuan setiap setahun sekali yaitu diadakan setiap pertengahan bulan Juli di Las Vegas. Ajang pertemuan hacker terbesar di dunia tersebut dinamakan Def Con. Acara Def Con tersebut lebih kepada ajang pertukaran informasi dan teknologi yang berkaitan dengan aktivitas hacking.

Hacker memiliki konotasi negatif karena kesalahpahaman masyarakat akan perbedaan istilah tentang hacker dan cracker. Banyak orang memahami bahwa hackerlah yang mengakibatkan kerugian pihak tertentu seperti mengubah tampilan suatu situs web (defacing), menyisipkan kode-kode virus dsb. Padahal, mereka adalah cracker. Crackerlah menggunakan celah-celah keamanan yang belum diperbaiki oleh pembuat perangkat lunak (bug) untuk menyusup dan merusak suatu sistem. Atas alasan ini biasanya para hacker dipahami dibagi menjadi 2 golongan White Hat Hackers, yakni hacker yang sebenarnya dan cracker yang sering disebut dengan istilah Black Hat Hackers.

Minggu, 15 Februari 2009

Paleolithic Diet Clinical Trials Part III

I'm happy to say, it's time for a new installment of the "Paleolithic Diet Clinical Trials" series. The latest study was recently published in the European Journal of Clinical Nutrition by Dr. Anthony Sebastian's group. Dr. Sebastian has collaborated with Drs. Loren Cordain and Boyd Eaton in the past.

This new trial has some major problems, but I believe it nevertheless adds to the weight of the evidence on "paleolithic"-type diets. The first problem is the lack of a control group. Participants were compared to themselves, before eating a paleolithic diet and after having eaten it for 10 days. Ideally, the paleolithic group would be compared to another group eating their typical diet during the same time period. This would control for effects due to getting poked and prodded in the hospital, weather, etc. The second major problem is the small sample size, only 9 participants. I suspect the investigators had a hard time finding enough funding to conduct a larger study, since the paleolithic approach is still on the fringe of nutrition science.

I think this study is best viewed as something intermediate between a clinical trial and 9 individual anecdotes.

Here's the study design: they recruited 9 sedentary, non-obese people with no known health problems. They were 6 males and 3 females, and they represented people of African, European and Asian descent. Participants ate their typical diets for three days while investigators collected baseline data. Then, they were put on a seven-day "ramp-up" diet higher in potassium and fiber, to prepare their digestive systems for the final phase. In the "paleolithic" phase, participants ate a diet of:
Meat, fish, poultry, eggs, fruits, vegetables, tree nuts, canola oil, mayonnaise, and honey... We excluded dairy products, legumes, cereals, grains, potatoes and products containing potassium chloride...
Mmm yes, canola oil and mayo were universally relished by hunter-gatherers. They liked to feed their animal fat and organs to the vultures, and slather mayo onto their lean muscle meats. Anyway, the paleo diet was higher in calories, protein and polyunsaturated fat (I assume with a better n-6 : n-3 ratio) than the participants' normal diet. It contained about the same amount of carbohydrate and less saturated fat.

There are a couple of twists to this study that make it more interesting. One is that the diets were completely controlled. The only food participants ate came from the experimental kitchen, so investigators knew the exact calorie intake and nutrient composition of what everyone was eating.

The other twist is that the investigators wanted to take weight loss out of the picture. They wanted to know if a paleolithic-style diet is capable of improving health independent of weight loss. So they adjusted participants' calorie intake to make sure they didn't lose weight. This is an interesting point. Investigators had to increase the participants' calorie intake by an average of 329 calories a day just to get them to maintain their weight on the paleo diet. Their bodies naturally wanted to shed fat on the new diet, so they had to be overfed to maintain weight.

On to the results. Participants, on average, saw large improvements in nearly every meaningful measure of health in just 10 days on the "paleolithic" diet. Remember, these people were supposedly healthy to begin with. Total cholesterol and LDL dropped. Triglycerides decreased by 35%. Fasting insulin plummeted by 68%. HOMA-IR, a measure of insulin resistance, decreased by 72%. Blood pressure decreased and blood vessel distensibility (a measure of vessel elasticity) increased. It's interesting to note that measures of glucose metabolism improved dramatically despite no change in carbohydrate intake. Some of these results were statistically significant, but not all of them. However, the authors note that:
In all these measured variables, either eight or all nine participants had identical directional responses when switched to paleolithic type diet, that is, near consistently improved status of circulatory, carbohydrate and lipid metabolism/physiology.
Translation: everyone improved. That's a very meaningful point, because even if the average improves, in many studies a certain percentage of people get worse. This study adds to the evidence that no matter what your gender or genetic background, a diet roughly consistent with our evolutionary past can bring major health benefits. Here's another way to say it: ditching certain modern foods can be immensely beneficial to health, even in people who already appear healthy. This is true regardless of whether or not one loses weight.

There's one last critical point I'll make about this study. In figure 2, the investigators graphed baseline insulin resistance vs. the change in insulin resistance during the course of the study for each participant. Participants who started with the most insulin resistance saw the largest improvements, while those with little insulin resistance to begin with changed less. There was a linear relationship between baseline IR and the change in IR, with a correlation of R=0.98, p less than 0.0001. In other words, to a highly significant degree, participants who needed the most improvement, saw the most improvement. Every participant with insulin resistance at the beginning of the study ended up with basically normal insulin sensitivity after 10 days. At the end of the study, all participants had a similar degree of insulin sensitivity. This is best illustrated by the standard deviation of the fasting insulin measurement, which decreased 9-fold over the course of the experiment.

Here's what this suggests: different people have different degrees of susceptibility to the damaging effects of the modern Western diet. This depends on genetic background, age, activity level and many other factors. When you remove damaging foods, peoples' metabolisms normalize, and most of the differences in health that were apparent under adverse conditions disappear. I believe our genetic differences apply more to how we react to adverse conditions than how we function optimally. The fundamental workings of our metabolisms are very similar, having been forged mostly in hunter-gatherer times. We're all the same species after all.

This study adds to the evidence that modern industrial food is behind our poor health, and that a return to time-honored foodways can have immense benefits for nearly anyone. A paleolithic-style diet may be an effective way to claim your genetic birthright to good health. 

Paleolithic Diet Clinical Trials
Paleolithic Diet Clinical Trials Part II
One Last Thought

Kamis, 05 Februari 2009

Sejarah Jam Gadang

Jam Gadang adalah sebuah menara jam yang merupakan markah tanah kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.

Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur
(Sekretaris Kota). Pada masa penjajahan Belanda, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan, sedangkan pada masa pendudukan Jepang, berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.

Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang yang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi markah tanah atau lambang dari kota Bukittinggi. Ada keunikan dari angka-angka Romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf Romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, Jam Gadang ini menulis angka empat dengan simbol IIII (umumnya IV).


 

ZOOM UNIK::UNIK DAN UNIK Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger