Warung Bebas

Minggu, 05 Agustus 2012

Inspirasi : Mana Hasil Jerih Payah Ini?

Catatan Kepala: ”Orang yang menjadikan uang sebagai alat ukur utama keberhasilan sering terkecoh oleh tampak luar sehingga gampang menyerah atau lupa diri.”

Kita sering menjadikan uang sebagai ukuran utama keberhasilan seseorang. Jika uangnya banyak, maka seseorang layak dinilai sukses. Jika uangnya sedikit, maka tak ada cukup alasan untuk menyebutnya sebagai pribadi yang berhasil. Demikian pula halnya dengan pertumbuhan pribadi kita yang sering diukur dengan takaran yang sama, yaitu; berapa banyak uang yang berhasil kita kumpulkan. Tidak heran jika kita sering merasa gagal kala melihat betapa sedikitnya uang yang kita miliki. Anda tidak perlu khawatir kalau-kalau saya menganjurkan hidup sederhana.
Anda juga tidak usah takut saya akan mempengaruhi Anda untuk menjadi orang miskin. Tidak. Bahkan, saya pribadi pun ingin sekali menjadi orang kaya raya dengan kepemilikan melimpah, kok. Kita punya keinginan yang sama. Tetapi, ketika sedang berproses untuk mewujudkan cita-cita itu, kita sering disiksa oleh perasaan negatif, hanya karena melihat kenyataan bahwa setelah semua jerih payah ini – uang kita tidak kunjung banyak. Percayalah, ada alat ukur lain yang dapat menentukan apakah usaha Anda sudah membuahkan hasil atau tidak. Dan Anda, tidak perlu menyiksa diri dengan pertanyaan; mana hasil jerih payah inih?

Setelah pensiun dari profesinya sebagai guru, Ayah saya menjadi petani sepenuhnya. Ketika pulang kampung bulan lalu, Ayah menunjukkan kebun mentimun yang baru saja ditanamnya. Dua helai daun mungil muncul dari biji benihnya. Pekan lalu, Ibu saya bertanya kapan saya pulang. Mentimunnya sudah dipanen, katanya. Bagi saya, pertani merupakan salah satu guru terbaik untuk belajar tentang kehidupan. Dari para petani, kita bisa belajar bagaimana proses menghasilkan sesuatu berlangsung. Orang-orang ‘kota’ seperti kita sering diburu oleh keinginan untuk menghasilkan segala sesuatu secara instan. Hari ini berusaha, hari ini harus ada hasilnya. Jika hari ini tidak mendapatkan apa yang kita inginkan maka kita buru-buru mengambil kesimpulan bahwa kita sudah gagal. Lalu kita tinggalkan semua yang sudah kita mulai itu dengan perasaan kesal. Para petani tidak begitu. Semua petani tahu, bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan tidak ada cara instan. Ada serangkaian proses yang harus dilalui, yaitu; menanam, memelihara, dan barulah memanen. Para petani membantu saya menyadari betapa banyaknya prinsip hidup modern kita yang keliru sehingga hari-hari kita dipenuhi dengan tekanan batin yang bisa membuat depresi. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memahami makna hidup dari para petani, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™)  berikut ini:

 1. Mengatur fokus perhatian. 
Diantara system nilai petani yang layak kita tiru adalah mereka percaya bahwa; buah adalah ekses dari kualitas tetumbuhan yang ditanamnya. Saya ulang; ‘Buah adalah ekses dari kualitas tetumbuhan yang ditanamnya.” Jika ingin mendapatkan buah yang banyak, maka para petani sadar bahwa yang harus mereka lakukan adalah menanam benih yang baik, dan merawatnya dengan cara yang baik. Dengan prinsip yang sama, kita bisa mengembangkan kepercayaan bahwa; ”uang adalah ekses dari kinerja yang kita berikan”. Saya ulang; ”uang adalah ekses dari kinerja yang kita berikan”. Hasil akhir yang diharapkan petani adalah buah. Tetapi mereka tidak mengejar buah, melainkan membaguskan tanaman yang dirawatnya. Begitu pula halnya dengan kita. Uang adalah hasil akhir yang kita ingin dapatkan. Maka berguru kepada petani itu; seyogyanya kita tidak mengejar uang. Melainkan membaguskan kinerja dan kontribusi yang bisa kita berikan. Petani paham betul bahwa terlampau memfokuskan diri kepada buah bisa membuat mereka lupa untuk merawat tanamannya. Sebaliknya, memfokuskan diri kepada tanaman, justru bisa memberinya buah dengan kualitas terbaik, dan kuantitas yang melimpah. Maka, meskipun tujuan kita adalah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, mari kita arahkan fokus kita kepada yang seharusnya. Fokuslah pada upaya merawat pohonnya, maka buahnya akan kita dapatkan.

2. Pertumbuhan diri adalah ciri utama keberhasilan. 
Sejak pertama kali menanam bibit mentimun itu, Ayah membutuhkan waktu sekitar satu setengah bulan hingga buahnya bisa dipanen. Di hari ketiga atau kesepuluh Ayah tidak pernah mengeluh; mengapa tanaman ini belum juga menghasilkan buah? Karena seorang petani sadar bahwa keberhasilan usahanya tidak diukur dari buah semata. Melainkan dari pertumbuhan yang diperlihatkan oleh tanamannya. Kita mengeluh jika belum juga menghasilkan uang. Padalah wujud keberhasilan usaha kita tidak semata diukur oleh uang. Lihatlah apakah pengetahuan Anda meningkat? Periksalah apakah keterampilan Anda bertambah? Jika ya, maka Anda tidak boleh berkecil hati. Usaha Anda sudah berhasil. Tapi mengapa tidak juga datang uangnya? Hey, lihatlah para petani itu. Mereka tahu bahwa saatnya panen belum lagi tiba. Sekarang adalah saat untuk menumbuhkan. Membesarkan. Dan membaguskan. Kita juga harus faham bahwa saat ‘memetik hasil’ dari segala jerih payah kita belum tiba. Bahkan ketika mentimun itu sudah mulai berbuah. Ayah tidak tergesa-gesa memetiknya. Ditunggunya beberapa hari lagi. Sampai buahnya matang sempurna. Kita sering terburu-buru ingin sesegera mungkin mendapatkan keuntungan dan uang melimpah. Para petani itu mengingatkan kita bahwa; ada saat yang tepat untuk memetik hasil terbaik.  Lebih dari itu, mereka mengingatkan kita bahwa keberhasilan tidak semata-mata ditandai dengan bertambahnya jumlah uang yang kita miliki, melainkan pada kualitas diri kita yang bertambah tinggi. Itulah makna dari pertumbuhan diri. Dan pertumbuhan itulah yang menjadi indikasi utama, apakah kita berhasil atau tidak.

3. Memberi kontribusi kepada lingkungan. 
Fokus kepada penanaman dan perawatan untuk menghasilkan pertumbuhan yang baik; itulah yang dilakukan oleh para petani. Pertanyaan saya, pernahkan Anda memperhatikan bagaimana petani memberi pupuk kepada tanaman agar bisa tumbuh dengan subur? Unik sekali. Petani tidak pernah menyuapi tanamannya dengan pupuk itu. Pakai sendok. Lalu memasukkannya kedalam mulut. Tidak. Alih-alih memberikan pupuk itu kepada tanamannya, para petani justru menebarkan pupuk itu ke permukaan tanah disekeliling tanaman itu. Lho, siapa sesungguhnya yang diberi ‘pakan’ oleh sang petani? Anda benar. Petani itu memberikan ‘pakan’ kepada tanah hingga menjadikannya gembur dan subur. Tidakkah ini isyarat yang demikian jelas bahwa; jika Anda ingin ‘tanaman’ milik Anda itu tumbuh baik maka Anda harus berkontribusi kepada lingkungan tempat tumbuhnya tanaman itu? Jika Anda ingin mendapatkan buah yang banyak, berilah pupuk kepada lingkungan sekitar pohon itu. Jika Anda ingin menghasilkan uang banyak, berilah kontribusi lebih banyak kepada lingkungan atau tempat kerja Anda. Kira-kira begitulah maknanya. Kita ingin sekali untuk menghasilkan uang yang banyak. Gaji yang besar. Bonus yang melimpah. Tapi, kita enggan untuk memberikan ‘pupuk’ terbaik agar perusahaan bisa ‘subur dan gembur’. Itu ibarat petani yang ingin tanamannya berbuah banyak tetapi tidak mau menebarkan pupuk kepada tanah disekitarnya. Mana mungkin pohon itu akan berbuah banyak jika tanah disekitarnya dibiarkan merana? Mana mungkin menghasilkan uang banyak jika kontribusi kita kepada lingkungan sangat rendah? Mana mungkin mendapatkan imbalan banyak jika kinerja yang kita persembahkan kepada perusahaan hanya sekedar alakadarnya? Berilah pupuk kepada tanah. Maka tanaman Anda akan berbuah melimpah. Berilah kontribusi kepada lingkungan. Maka Anda akan mendapatkan keberlimpahan.

4. Terus menebarkan benih yang baru. 
Sebelum menanam ketimun itu, saya tahu persis jika kebun Ayah ditanami buah pare. Sebelumnya ada terong. Atau kacang panjang. Para petani sadar bahwa tidak ada tanaman penghasil buah yang akan abadi. Maka sebelum tanaman yang satu berhenti berbuah, mereka sudah bersiap-siap untuk menebar bibit benih tanaman yang lainnya. Kita sering mengira bahwa apa yang menghasilkan hari ini, akan menghasilkan selamanya. Makanya, kita terus saja berkutat dengan apa yang biasanya kita lakukan. Tidak begitu cara para petani bersikap. Tindakan, standard kerja, kualifikasi keahlian atau apapun yang hari ini bisa menempatkan Anda sebegai pribadi yang unggul – mungkin sudah tidak akan bisa lagi bersaing beberapa tahun kemudian. Oleh karena itulah makanya kita butuh terus menerus ‘menanam’ benih baru. Apakah benih pengetahuan yang baru. Keterampilan baru. Perilaku baru. Atau apapun yang bisa membantu kita untuk selalu berada digaris terdepan. Karena hanya dengan cara terus menerus menanam bibit yang baru itulah, kita akan selalu menghasilkan sesuai dengan yang kita inginkan. Para petani, mengajarkan untuk tidak pernah berhenti berkarya dan berbuat. Tidak ada kata berakhir. Makanya, kita tidak pernah mendengar ada petani yang pensiun. Orang modern seperti kita sering dihantui oleh kata ‘pensiun’. Di usia 55, kita mendapatkan uang banyak sekaligus. Setelah itu kita bingung mau ngapain. Petani, tidak pernah mengalami itu. Karena mereka tahu, bahwa roda kehidupan tidak pernah sedetik pun berhenti. Sehingga kita, wajib untuk terus bergerak. Berbuat. Dan berkarya. Kakek saya – ayahnya ayah saya – wafat di tengah sawah. Ketika beliau sedang bekerja merawat tanaman-tanamannya. Kakek saya telah memberi teladan kepada cucunya, bahwa selama hayat dikandung badan; tidak ada kata berhenti dari menghasilkan karya-karya terbaru. Sampai kapan? Sampai sang pemilik hidup memanggil kita.

5. Cara terhormat untuk mendapatkan buah. 
Kebun Ayah hanya dipisahkan pematang sawah selebar 20 centimeter dari kebun milik petani lain. Tidak ada pagar pemisah. Apalagi tembok yang membatasi kebun-kebun itu. Ayah bisa melihat buah dari tanaman petani lain. Bisa menjangkaunya dengan mudah. Begitu pula sebaliknya. ‘Mendapatkan buah sebanyak-banyaknya adalah GOAL para petani. Tetapi, mereka tidak memetiknya dari pohon di kebun tetangganya. Mendapatkan uang sebanyak-banyaknya adalah tujuan utama kita. Pertanyaannya adalah; jika Anda memiliki akses kepada uang orang lain. Yang bisa dijangkau dengan mudah. Tidak dilindungi dinding tebal. Tidak dikunci dalam brangkas. Sanggupkah Anda untuk hanya ‘memetik’ uang yang tumbuh dari ‘pohon’ yang ada di ‘wilayah’ Anda sendiri? Para petani mengajarkan lebih dari sekedar cara mencapai tujuan. Mereka menunjukkan makna integritas yang sesungguhnya. Mudah untuk ‘tidak mencuri’, jika buah dipohon orang lain dikelilingi oleh pagar tinggi. Tetapi, ‘membiarkan’ buah milik orang lain yang tidak dilindungi tetap ditempatnya merupakan tantangan tersendiri. Gampang untuk ‘tidak mengambil’ uang yang bukan hak kita jika uang itu dijaga ketat. Tapi, jika uang itu ada didepan mata. Dan tujuan hidup kita adalah memperoleh sebanyak mungkin uang, bisakah kita menjaga kehormatan ini? Para petani mengajarkan bahwa ada banyak cara mendapatkan buah. Namun hanya ada satu cara yang terhormat, yaitu; memetiknya dari pohon dilahan mereka sendiri. Ada banyak cara untuk mendapatkan uang yang banyak. Namun hanya ada satu cara terhormat, yaitu; mengambilnya dari kepemilikan kita sendiri.

Kita percaya bahwa Tuhan akan mencukupkan rezeki setiap mahluknya. Itulah sebabnya kita jarang sekali menemukan ada yang kelaparan. Jika itu terjadi, maka bisa dipastikan adanya intervensi. Baik dari dalam dirinya sendiri, maupun dari luar. Intervensi dari dalam diri bisa berarti orang itu yang tidak mau berusaha melakukan tindakan yang memungkinkan rezeki yang sudah Tuhan siapkan itu sampai kepada dirinya. Intervensi dari luar bisa berarti orang-orang yang lebih kuat merebut dan menguasai jatahnya. Jika Anda bisa membaca artikel saya, maka itu menunjukkan fakta bahwa – seperti halnya saya – Anda jauh lebih beruntung dari kebanyakan orang yang lainnya. Kita memiliki kekuatan, kemampuan dan kesanggupan untuk melakukan lebih banyak hal daripada orang kebanyakan. Situasi aman disekitar kita juga menjamin minimalnya intervensi dari luar. Bukankah kita jarang sekali menemukan orang yang memeras kita? Mengambil hak kita secara paksa? Atau memotong gaji kita secara semena-mena? Masalahnya adalah; apakah kita sudah bisa membebaskan diri dari intervensi yang datang salam diri kita sendiri? Yaitu intervensi yang memaksa kita untuk tidak melakukan tindakan yang perlu kita lakukan agar semua rezeki yang Tuhan berikan untuk kita itu benar-benar berhasil kita dapatkan. Para petani itu sudah menunjukkan pelajaran terpentingnya.

Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Trainer of Natural Intelligence Leadership Training
Penulis buku ”Natural Intelligence Leadership” (Baru selesai cetak di penerbit)

Catatan Kaki:
Keberhasilan kita diukur dari pertumbuhan yang berhasil kita raih setiap hari, bukan dari uang yang berhasil kita kumpulkan.

Inspirasi : Saatnya Melihat Kedalam Diri Sendiri

Catatan Kepala: ”Mudah untuk melihat kearah orang lain. Tapi untuk melihat diri sendiri, kita membutuhkan alat bantu bernama cermin diri.”

Salah satu benda berharga yang sulit kita cari adalah sesuatu yang kita sebut sebagai ‘keteladanan’. Banyak guru yang bisa kita ikut ajarannya. Banyak orator yang bisa kita dengar mimbarnya. Banyak penulis yang bisa kita baca buah penanya. Tapi, sedikit orang yang bisa kita jadikan sebagai teladan. Mengapa? Karena keteladanan bukanlah kata-kata. Keteladanan bukanlah ajakan. Dan keteladanan bukan seruan. Keteladanan adalah apa dilakukan oleh seseorang yang antara kata dan perbuatannya sejalan. Ini yang masih sulit kita temukan. Sulit tidak berarti tidak ada. Diantara hanya sedikit orang yang layak dijadikan teladan itu, saya menemukan sebuah kesamaan, yaitu; mereka lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri. Karena mereka percaya bahwa untuk bisa menjadi pribadi yang layak dicontoh itu, kita membutuhkan alat bantu bernama cermin diri.
Kami sempat panik ketika malam itu anak lelaki kecil kami belum juga pulang. Diluar hujan disertai petir tidak berhenti sejak sore. Setelah telepon kesana kemari tidak memberikan hasil, kami segera mengeluarkan mobil menerobos tumpahan air dari langit. Rumah demi rumah kami datangi, namun hasilnya nihil. Ditengah kegalauan itu istri saya teringat jika anak kami pernah mengenalkan teman barunya yang sama-sama suka bermain futsal. Setelah bersusah payah mencari rumah teman barunya itu, ternyata memang anak kami berada disana. Dia tidak bisa pulang karena terhalang hujan dan halilintar. 


“Kenapa Abang nggak telepon ke rumah?” ibunya bilang. “Aku nggak tahu nomor telepon rumah kita,” katanya. “Aku tahunya cuma nomor telepon teman-temanku saja….” Saya sungguh tersentak mendengar ucapannya. Dia tahu nomor telepon semua temannya. Tapi tak tahu nomor telepon rumahnya sendiri. “Gue banget!” begitu saya berguman dalam hati. Saya serasa diingatkan bahwa; ini adalah saatnya untuk lebih banyak mengenal diri sendiri. Hidup kita lebih banyak digunakan untuk memperhatikan orang lain. Sedangkan diri kita sendiri kurang mendapatkan perhatian. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menjadi lebih banyak melihat kedalam diri, saya ajak memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Kita sama berpotensinya dengan orang lain.  
Nomor telepon di kompleks kami itu mirip-mirip. Hanya beda beberapa angka belakangnya saja. Tapi, anak saya tidak mengingat nomor telepon rumahnya sendiri. Begitu juga kita. Potensi diri kita ini tidak jauh berbeda dengan orang lain. Tetapi, mudah bagi kita untuk mengatakan “Beruntung ya, dia berbakat dalam berbahasa Inggris.” “Hebat ya dia, berpotensi sekali untuk menjadi orang sukses.” Lha, kita sendiri punya bakat apa? Anda sendiri punya potensi apa? Bingung kan? Bisa jadi sebenarnya bakat kita untuk bisa bahasa Inggris itu sama dengan orang lain. Tapi, kita tidak mau berusaha untuk belajar dan mempraktekannya. Malu jika kulit coklat ini cas-cis-cus dengan bahasa Inggris logat daerah. Wagu. Takut ditertawakan orang lain. Maka, biarpun kita berbakat; ya tidak bakalan jadi terampil. Boleh jadi sebenarnya kita sama berpotensinya untuk menjadi karyawan sukses seperti teman kita itu. Hanya saja, kita masih hitung-hitungan gaji dan waktu kerja. Kita masih menggerutu saat diberi tugas tambahan. Kita masih enggan untuk membangun hubungan baik dengan teman dan atasan. Kita masih berpikir untuk berkontribusi lebih banyak NANTI kalau sudah naik jabatan. Walhasil, biarpun kita sudah dikasih potensi untuk sukses; ya ndak bakalan sukses toh Mas. Potensi kita sama dengan orang lain. Hanya saja, kita perlu mengenalinya lebih dalam, dan mengambil sikap yang tepat untuk mewujudkannya.

2. Kita perlu lebih sering bercermin. 
Saya punya cermin kecil di kamar. Tapi, saya jarang melihatnya. Diluar rumah, saya punya banyak pemandangan indah. Tetangga saya berganti-ganti mobil. Teman saya mendapat kenaikan jabatan. Kawan satu angkatan saya sudah menjadi direktur. Panas rasanya hati ketika melihat itu. Mungkin bukan hanya saya yang sering begitu. Makanya kita sering merasa diri kurang beruntung. Padahal, semua yang mereka dapatkan bukan sekedar keberuntungan. Mereka telah melakukan sesuatu yang cukup berharga sehingga sekarang bisa memetik hasilnya. Kita? Apakah sudah bekerja sekeras dan secerdas mereka? Jika belum, mengapa kita menuntut hasil yang sama baiknya? Ada orang yang termotivasi untuk bekerja lebih giat, berkontribusi lebih banyak, berbuat lebih berbobot; ketika melihat teman atau tetangganya lebih berhasil dari dirinya. 


Ada juga yang semakin panas hati. Anda termasuk jenis yang mana? Pasti akan panas hati jika pemadangan sehari-hari itu tidak diimbangi dengan kesediaan untuk bercermin kepada apa yang sudah kita lakukan. Perhatikanlah, bukankah didalam diri kita masih sering timbul rasa iri? Bukankah kita masih lebih mudah ikut arus yang mau enaknya saja? Teman sekantor kita malas, kita ikut malas. Atasan kita sedang nyebelin, kita kehilangan mood. Padahal, tak seorang pun mengambil kendali atas hidup kita selain diri kita sendiri. Maka bercerminlah, dan lihatlah; betapa kita terlalu banyak melihat ke arah orang lain, namun sangat jarang menengok kedalam diri sendiri. Kenyataannya, kita perlu lebih banyak bercermin.

3. Kita tidak kurang suatu apapun. 
Ketika melihat kedalam diri, kita sering melakukan kesalahan dengan memberi penilaian seolah orang lain lebih beruntung dari kita. Bukan hanya Anda, saya pun begitu. Tetapi, setelah saya renungkan, ternyata semua itu disebabkan karena kita terlalu banyak memandang dari aspek material saja. Faktanya, rasa bahagia tidak langsung berkorelasi dengan materi. Keutuhan rumah tangga tidak hanya dimiliki oleh mereka yang berkelimpahan harta. Kesehatan jasmani bukanlah monopoli orang-orang yang banyak uang. Kita hanya melihat yang lebihnya saja dari orang lain. Tapi kita tidak melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Kemarin saya mendengar seorang pejabat perusahaan besar yang terserang stroke lalu batok kepalanya dibuka diruang operasi. 


Membayangkan cerita suster itu saya sudah berkeringat panas dan dingin. Oh, saya merasa beruntung karena dikasih Tuhan jasmani yang sehat. Di lorong Rumah Sakit saya bertemu seorang mantan perwira penerbang. Beliau bercerita jika anaknya mengalami kecelakaan sehingga kakinya patah. Oh, betapa beruntungnya saya hingga hari ini. Disamping saya terbaring seorang pemuda belia. Badannya tegap tinggi besar. Namun sekarang, setetes air putih pun hanya bisa masuk melalui selang yang disambungkan ke lubang hidung. Setiap kali tetes air itu masuk, setiap kali itu juga dia terbatuk. Belum lagi ketika selang itu lepas karena ditariknya. Bisakah Anda membayangkan bagaimana rasanya sebuah selang yang dimasukkan kembali ke lubang hidung hingga tembus ke kerongkongan? Kita? Sungguh, tidak kurang suatu apapun.

4. Kita perlu lebih sering bersyukur. 
Anda orang yang serba kekurangan? Saya tidak. Hanya satu kekurangan yang saya miliki. Tahukah Anda apa yang kurang dalam diri saya? Rasa syukur. Hanya itu. Yang lainnya sudah cukup. Namun karena kurangnya rasa syukur itu, saya sering merasa semuanya menjadi serba kurang. Sudah punya rumah, tapi merasa rumah saya lebih kecil dibandingkan rumah orang lain. Sudah ada mobil, tapi mobil orang lain lebih baru dan lebih keren. Sudah punya penghasilan, tetapi pengeluaran kok selalu lebih besar dari pada yang dihasilkan. Apakah Anda merasakan hal yang sama? Jika ya, mungkin kita punya masalah yang sama, yaitu; kurang memiliki rasa syukur. Padahal, saat hati saya dengan tulus berbisik; Tuhan, terimakasih hari ini Engkau memberi kami nafkah yang baik… nikmaaaaat rasanya. Meski nafkah itu mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tuhan, terimakasih hari ini Engkau telah menjadikan aku sehat…., lezaaat sekali rasanya. Tuhan terimakasih Engkau telah mengenalkan saya pada orang sukses yang bisa menginspirasi, semangaaat sekali hati ini. Apapun yang kita syukuri, memberikan nikmat yang nilainya berkali-kali lipat. Sebaliknya, apapun yang tidak kita syukuri; selalu menimbulkan perasaan kesal. Oleh sebab itu, kita perlu lebih sering bersyukur. Karena kita, tidak kekurangan apapun kecuali rasa syukur itu.

5. Kita butuh bertindak secara tepat. Tindakan. 
Itulah satu-satunya cara yang bisa menyampaikan kita kepada suatu tujuan. Tapi tidak semua tindakan bisa begitu lho. Hanya tindakan yang tepat. Semua yang kita lakukan – diam atau bergerak misalnya – adalah tindakan. Apapun pilihan kita, adalah tindakan. Tetapi ada tindakan yang sesuai dengan keinginan atau tujuan yang hendak kita capai, dan ada pula tindakan yang bertolak belakang. Saat bertanding diatas ring tinju, Anda harus memukul dan menangkis. Tetapi ketika tukang cukur memotong janggut Anda, tindakan paling tepat untuk Anda ambil adalah diam – bukan menonjok. Jadi, kita boleh diam atau bergerak. Boleh menyerang atau bertahan. Boleh menyerah atau melawan, bergantung kepada tujuan atau hasil akhir yang ingin kita capai. 


Masalahnya, kita sering melakukan sesuatu yang tidak mendukung terwujudnya hasil akhir itu. Jika tujuan kita ingin dinilai buruk oleh atasan, maka silakan bermalas-malasan. Jika tujuan kita ingin disebut karyawan sulit; silakan bikin masalah. Tetapi jika tujuan kita adalah ‘ingin meraih kredibilitas dan reputasi sebagai karyawan teladan’ misalnya, maka tindakan yang tepat adalah bekerja giat, penuh dedikasi, mengkotribusikan hasil kerja terbaik, selalu datang dengan solusi, bekerjasama dengan rekan, terus menempa diri, tidak pernah mengeluh, proaktif terhadap penugasan, menawarkan bantuan kepada teman, selalu ada kapan saja atasan membutuhkan, dan tindak-tindakan pendukung lainnya. Apapun tindakan Anda, memiliki konsekuensinya masing-masing. So, dukunglah tujuan yang ingin Anda wujudkan dengan bertindak secara tepat.

Sekarang, kami berusaha untuk mengajari anak lelaki mungil kami agar bisa mengingat nomor telepon rumahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, saya mengajari diri saya sendiri agar bisa mengenali diri sendiri lebih baik lagi. Selama ini, kita lebih banyak berfokus kepada orang lain. Dan sering melupakan diri sendiri. Padahal, kita tidak akan pernah dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan oleh orang lain. Pertanggungjawaban kita hanyalah seputar apa yang telah dilakukan oleh diri kita sendiri. Selama ini, kita terlampau sibuk menyuruh orang lain berbuat lebih baik bagi dirinya sendiri. Kita mudah menunjukkan kekurangan orang lain. Namun sulit menemukan hal-hal yang harus diperbaiki oleh diri sendiri. Padahal, guru kehidupan saya pernah mengingatkan bahwa Tuhan sangat marah kepada orang yang menyuruh orang lain berbuat baik, padahal dirinya sendiri terus menerus berkubang dalam keburukan. So, teman-teman, mungkin inilah saatnya untuk lebih banyak melihat kedalam diri sendiri. Dengan begitu, semoga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik, dari hari ke hari.

Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman
Trainer Bidang Leadership & Personnel Development



Catatan Kaki:
Pribadi yang layak ditiru itu bukanlah orang yang pandai memberi nasihat, melainkan seseorang yang bisa menjadikan dirinya sendiri pribadi yang baik.

Motivasi : 3 Jawaban Kenapa Karir Anda Mentok!

Aduh, kenapa karir saya ndak naik-naik ya. Saya sudah bertahun-tahun kerja di perusahaan ini, tapi kenapa posisi saya mentok disini saja. Demikian dua contoh kegalauan yang acap dilantunkan oleh para rekan pekerja kantoran. Sebuah kegalauan yang sering dilentingkan dengan nada kepedihan dan sejumput rasa fustrasi yang menggumpal (duh biyung, malang nian nasib sampeyan….).
Saya kira ada beragam penjelasan yang bisa dilontarkan untuk menjawab kegundahan itu. Disini kita mencoba untuk membincangkan tiga kemungkinan jawabannya secara ringkas. Baiklah sebelum kita membahasnya, silakan terlebih dahulu menyeruput secangkir kopi hangat yang mungkin sudah terhidang di depan meja kerja Anda…..
Jawaban yang pertama simpel dan jelas : you don’t deserve to be promoted. Ya, Anda memang tidak layak
dipromosikan atau naik karir. Boleh jadi ini karena kompetensi Anda memang masih belum mumpuni; atau mungkin juga sikap kerja Anda yang begitu-begitu saja, hingga gagal membuat orang lain mengulurkan tangan memberi apresiasi. Bagaimana mungkin top manajemen memberikan Anda kenaikan karir kalau prestasi kerja Anda hanya pas-pasan.
Jadi kalau begitu, pertanyaan itu sejatinya justru harus digedorkan pertama-tama kepada diri Anda sendiri. Dengan kata lain, pertanyaan mengapa Anda ndak melesat karirnya mungkin justru harus ditujukan pada diri Anda sendiri. Disini, kerendahan hati dan kebesaran jiwa untuk mencoba bening mengaca pada kekurangan diri dan juga sekaligus potensi kekuatan yang dimiliki, sungguh amat diperlukan.
Proses self-exploration semacam itu sungguh akan bisa berjalan dengan optimal kalau saja setiap perusahaan menyediakan career coach yang trampil. Dengan itu rute untuk menyempurnakan kompetensi dan mindset Anda bisa berlangsung dengan efektif (sayang memang, ndak banyak perusahaan di tanah air yang menyedian career coach internal yang tangguh).
Jawaban kedua : prestasi kerja Anda sudah oke, kerja sudah mati-matian, tapi tetap saja top manajemen cuek bebek dengan kisah perjuangan kerja Anda yang sudah berdarah-darah itu (doh!). Nah kalau ini yang terjadi, kemungkinan besar Anda telah gagal “memamerkan” kelebihan dan prestasi kerja yang yang sungguh heroik itu. Bukan, disini kita bukan mau bicara mengenai ilmu cari muka atau menjilat bos dan bosnya si bos. No, no, no. Namun harus diakui, dalam sirkuit perjalanan naik karir ada dikenal sebuah ketrampilan yang disebut “impression management”. Inilah sejenis siasat untuk menonjolkan prestasi kerja Anda dihadapan kolega dan top manajemen secara elegan nan bermartabat. (sorry, topik khusus mengenai impression management ini baru akan kita bahas kapan-kapan di waktu mendatang. So stay tuned!).
Dalam lingkungan kerja dimana elemen subyektifitas dan perasaan acap masih punya pengaruh terhadap promotion decision, maka ketrampilan mengenai impression management mungkin layak untuk digenggam. Sebab dengan itu, perjuangan heorik nan berdarah-darah dari Anda itu bisa kemudian dihargai dengan layak.
Jawaban yang ketiga : karir Anda mentok karena Anda memang bekerja di perusahaan yang salah. Sorry, maksudnya perusahaan kecil yang karyawannya cuman 500-an dan hanya punya satu pabrik misalnya. Kalau perusahaan Anda hanya perusahaan manufaktur (pabrikan) yang karyawannya ndak banyak, ya ndak usah deh ngomong tentang career planning (sebab karir apa yang mau diomongkan kalau posisi manajerial yang tersedia hanya hitungan jari).
Dalam situasi semaca itu, karir Anda hanya akan naik kalau atasan Anda pensiun (duh, lama banget dong nunggunya !). Sebab itulah, beruntung bagi Anda yang bekerja di perusahaan dengan skala besar seperti industri perbankan atau telekomunikasi atau perusahaan energi dengan skala nasional. Dalam perusahaan dengan skala besar semacam ini, maka akan sangat banyak tersedia posisi manajerial, dan karena itu, pergerakan karir kita bisa sangat luas dan dinamik.
Jadi sekali lagi, dalam perusahaan dengan size yang terbatas, kita memang ndak bisa menerapkan ilmu career planning atau talent management secara optimal. Dan sebab itulah, karir Anda mentok. And again : ini memang sebuah kewajaran yang ndak layak ditangisi.
Itulah tiga jawaban ringkas yang barangkali bisa menjelaskan kenapa karir kita stagnan. Apapun jawabannya ada satu kalimat yang mungkin layak kita genggam dengan sepenuh hati : kita sendirilah sesungguhnya yang menciptakan masa depan kita – not somebody else.
So, believe in yourself, take positive actions, and create your own bright future. Goodluck and God bless you all !!
Sumber : www.strategimanajemen.net

Inspirasi : Tugas Kecil Hanya Membuat Anda Kerdil

Jika boleh memilih antara gaji besar dan gaji kecil, apa pilihan Anda? Pertanyaan yang kurang cerdas. Jika dihadapkan pada 2 pilihan antara mengerjakan sesuatu yang sudah biasa Anda lakukan dengan baik atau sesuatu yang Anda belum terampil melakukannnya; Anda pilih yang mana? Tidak usah khawatir, ini bukan soal pilihan antara benar dan salah kok. Kebanyakan orang mendahulukan kenyamanan. Maka wajar jika mereka memilih mengerjakan tugas-tugas yang mudah. Selain memberi rasa nyaman, pekerjaan gampang tidak memerlukan kerja keras dan bisa menghemat banyak keringat. Tak heran jika banyak orang yang merasa berat hati ketika mendapatkan penugasan yang sulit. Bahkan tidak sedikit yang rela karirnya tidak berubah karena merasa sudah sangat nyaman dengan pekerjaan yang dilakukannya selama bertahun-tahun. Boleh saja jika memang itu sudah menjadi pilihan hidup kita. Tapi, jika kita masih mengeluhkan hasilnya, itu pertanda ada yang salah dengan pilihan kita.
Dua minggu lalu sahabat saya menunjukkan pohon beringin bonsai yang dimilikinya. Lalu saya teringat kepada pohon beringin besar yang tumbuh dihalaman belakang rumah kakek saya di kampung ketika saya masih kecil dulu. Membayangkan kedua beringin itu, tiba-tiba saya merasa miris sendiri.
Jangan-jangan saya ini sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar. Namun, saya membiarkan diri sendiri kerdil seperti beringin bonsai itu. Seolah tersadar dari keterlenaan yang telah bertahun-tahun ini saya alami, saya melihat betapa banyak potensi diri yang saya sia-siakan selama ini. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memaksimalkan potensi diri, saya ajak memulainya dengan mempraktekkan 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn) berikut ini:

1.   Berhentilah bermain di arena kecil.Jika Anda sudah tidak lagi mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan yang Anda tangani, boleh jadi sebenarnya Anda sudah tidak cocok lagi dengan pekerjaan itu. Huhu, bukankah justru sebaliknya? Bukan. Salah satu alasan mengapa pohon beringin di rumah teman saya itu menjadi bonsai adalah karena dia secara sengaja ditempatkan pada pot beton yang sangat kecil. Beda dengan beringin raksasa di kebun kakek saya. Tanahnya luas, nutrisinya banyak, ruang geraknya leluasa. Maka jadilah beringin teman saya kerdil. Dan jadilah pohon beringin kakek saya menjulang tinggi dengan akar gantungnya yang besar dan kekar. Begitu pula dengan pekerjaan. Jika Anda masih terus bertahan dalam pekerjaan yang sudah menjadi tugas cetek dan celepete itu, bisa jadi Anda membiarkan diri sendiri menjadi bonsai. Kita sering mengkalim diri sebagai orang yang berjiwa besar dan berkehormatan besar. Namun, kita membiarkan diri sendiri ngendon di ruang kecil yang hanya cocok untuk mereka yang memiliki kapasitas kerja yang juga kecil. Terlalu mudahnya pekerjaan yang Anda tangani itu adalah indikasi jika kapasitas diri Anda sudah lebih besar. Maka datanglah kepada atasan Anda untuk penugasan yang lebih menantang. Karena seperti pot mungil; tantangan kecil hanya cocok untuk orang kecil, atau orang besar yang ingin menjadi kerdil.

 2. Tumbuhkanlah keinginan untuk menjadi orang besar. Kalau merasa takut keluar dari arena kecil untuk memasuki arena bermain yang lebih besar itu wajar. Namun kita memiliki pilihan apakah akan menjadikan rasa takut itu sebagai alasan untuk tetap diam ditempat, ataukah sebagai daya dorong untuk mengembangkan diri agar bisa menjadi pribadi yang lebih besar. Pilihan itu menghasilkan sebuah perbedaan bermakna. Orang-orang yang terkurung dalam ketakutan tidak akan pernah keluar dari penjara aman yang dibuatnya sendiri. Sedangkan orang-orang yang terdorong oleh rasa takut proporsional justu semakin bersemangat untuk terus mengembangkan diri. Saya melihat akar bonsai itu memberontak keluar dari pot kecilnya. Bahkan ada bagian pot yang retak. Terlihat sekali jika sebenarnya bonsai itu ingin tumbuh membesar seperti yang seharusnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita menggeliat mencari tantangan lebih besar ataukah justru diam saja ditempat berhambatan kecil? Kita kalah oleh tanaman jika demikian. Tantangan besar sering tidak datang dengan sendirinya. Maka seperti akar bonsai itu, kita sendirilah yang harus mencarinya keluar dari tempat persembunyian. Banyak atasan yang enggan memberi penugasan besar kepada orang-orang tertentu. Mengapa? Karena kebanyakan orang memiliki seribu satu alasan untuk menolaknya. Kita? Karus seperti akar itu. Mendatanginya. Dan mempersiapkan keterbukaan diri untuk menerima tantangan besar.
3. Pancinglah kesempatan besar dengan umpan yang besar. Bayangkan jika Anda berharap bisa menangkap hiu, namun Anda menggunakan sampan kecil. Dengan kondisi seperti itu, didatangi oleh hiu justru sangat berbahaya. Banyak kejadian yang patut kita ambil hikmahnya. Misalnya orang-orang yang mendapatkan jabatan atau tanggungjawab yang ‘terlalu besar’ dibandingkan dengan kapasitas dirinya yang kecil. Mereka berambisi untuk mendapatkan ikan besar, tapi lupa untuk memperbesar alat pancingnya. Mereka berambisi mendapatkan jabatan tinggi, tapi lalai mengimbanginya dengan kapasitas dan kemampuan diri yang juga tinggi. Akhirnya? Kinerjanya buruk. Frustrasi. Dilecehkan kolega dan bawahan. Lalu, melarikan diri ke tempat lain karena sudah tidak sanggup lagi mengatasi tantangan yang dihadapinya. Ditempat baru, kejadiannya tidak jauh berbeda. Pasti akan terulang lagi. Kecuali jika mereka kembali memasuki kolam kecil yang sesuai dengan kapasitas dirinya. Sebaliknya jika penugasan besar itu diberikan kepada orang-orang yang memiliki kapasitas diri yang besar. Dia tentu bisa mengembannya dengan sebaik-baiknya. Jadi, jika ingin mendapatkan tanggungjawab yang besar, kita mesti belajar untuk terlebih dahulu membuat kapasitas diri kita tambah besar. Karena, hanya orang besar yang layak mendapatkan kesempatan besar.
4. Besarkanlah kapasitas diri dengan kemauan sendiri. Saya berani mengatakan bahwa Anda tidak bisa mengandalkan proses pengembangan kapasitas diri Anda kepada atasan Anda. Mengapa? Karena proses pengembangan diri itu harus dimulai dari kesadaran yang datang dari diri Anda sendiri. Atasan Anda hanya bisa memfasilitasi prosesnya, atau merekomendasikan program pelatihannya, atau sekedar menyediakan budgetnya. Apakah Anda berhasil mengembangkan kapasitas diri itu atau tidak, atasan Anda tidak memiliki kuasa untuk itu. Faktanya? Banyak orang yang ikut suatu pelatihan namun tidak menerapkan ilmu yang diperolehnya di tempat kerja. Banyak juga bawahan yang mengelak untuk mendapatkan penugasan menantang yang sebenarnya merupakan kesempatan bagi mereka untuk berkembang lebih cepat. Bukankah kita sering mengomel kalau diberi tugas yang sulit? Padahal kita tahu bahwa pengalaman adalah bekal yang paling relevan, berdampak, dan berdaya guna. Dan itu tidak bisa kita raih selain dengan menjalaninya sendiri. Kebanyakan orang langsung nyantai begitu pekerjaannya selesai. Banyak juga yang sengaja melambat-lambatkan pekerjaanya dengan maksud menghindari penugasan lainnya. Tapi seorang staff memiliki kemauan yang sedemikian kuat untuk berkembang lebih pesat. Dia beristirahat hanya pada waktunya istirahat. Lalu berpindah dari tugas yang satu kepada tugas yang lain. Setahu saya, karir orang ini melejit sangat cepat. Bahkan melampaui posisi mantan atasannya. Mengapa hanya dia yang begitu? Apakah atasannya pilih kasih? Tidak. Itu karena memang dia memiliki kemauan untuk memperbesar kapasitas dirinya sendiri.
5. Raihlah kesempurnaan dengan proses pencarian tanpa henti. Orang-orang yang merasa dirinya sudah sempurna pasti jauh dari kesempurnaan. Mengapa? Karena tidak ada satu hal pun dimuka bumi ini yang benar-benar statis. Semua bergerak secara dinamis. Bahkan benda-benda yang terlihat diam pun sebenarnya bergerak. Apakah secara absolut pada tingkatan atomiknya, maupun secara relatif dalam tingkatan kosmiknya. Segala sesuatu yang hari ini kita kira sebagai puncak pecapaian, akan segera kadaluarsa lalu digantikan oleh pencapaian lain yang jauh lebih bernilai. Kesempurnaan pencapaian diri kita itu laksana undakan anak tangga. Setiap kali kita menanjak naik, posisi kita memang menjadi lebih tinggi. Namun kita tidak benar-benar sampai ke puncak tertinggi. Jika kita berhenti pada anak tangga itu, maka kita hanya akan bisa mencapai setinggi itu. Lihatlah satu anak tangga lagi, maka kita akan tahu bahwa meski sudah tinggi tapi kita belum cukup tinggi. Naiklah lagi, dan posisi kita lebih tinggi lagi. Naiklah lagi, dan naiklah lagi. Itulah satu-satunya cara untuk menapaki ketinggian nilai-nilai kemanusiaan diri kita sendiri. Yaitu dengan pencarian yang tanpa henti. Sebagai imbalannya, setiap penemuan yang kita dapatkan itu semakin mendekatkan diri kita pada kesempurnaan diri. Karenanya, kesempurnaan hanyalah milik para pencari tanpa henti.
Banyak karyawan yang sangat senang dengan penugasan ringan. Mereka merasa nyaman dengan segala kemudahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Padahal, justru kondisi itu sangat membahayakan karir mereka sendiri. Tugas-tugas ringan yang kita dapatkan dari pekerjaan tidak ubahnya seperti pot-pot kecil yang akan menghalangi pertumbuhan akar, dahan dan ranting-ranting kapasitas diri yang besar. Jika pohon beringin yang bisa tumbuh puluhan meter pun bisa dikerdilkan untuk menjadi hanya 15 senti, maka kapasitas diri kita yang sangat besar itu pun pasti bisa dikerdilkan hanya dengan cara memberinya tugas-tugas yang kecil. Maka mulai sekarang, berhentilah merasa nyaman dengan tugas-tugas kecil.  Dan mulailah untuk memberikan pohon kapasitas diri Anda tanah yang luas dan besar agar bisa tumbuh hingga sebesar-besarnya.

Penulis : DeKa - Dadang Kadarusman
             www.dadangkadarusman.com

Mengubah Cacian Jadi Kekaguman

by Gede Prama


MENJADI besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah kemauan banyak sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti itu ada, tentu ada terlalu banyak manusia yang juga menginginkannya. Sayangnya wajah kehidupan seperti ini tidak pernah ada. Sehingga jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan hanya sebagai khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.


Ini serupa dengan khayalan seorang sahabat Amerika yang bertanya: kenapa Yesus tidak lahir di Amerika di abad ke-21 ini? Rekan lainnya sesama Amerika menimpali sambil bercanda: memangnya ada wanita Amerika yang masih perawan? Namanya juga canda, tentu tidak disarankan untuk memikirkannya terlalu serius. Apalagi tersinggung.
Namun bercanda atau tidak, serius atau sangat serius, kisah-kisah manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh cacian sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama. Semuanya dibikin kuat sekaligus terhormat oleh penderitaan.


Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara, disakiti serta diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan disegani namun juga menjadi modal demokrasi yang mengagumkan bagi Afrika Selatan. Gandhi besar dan menjulang karena terketuk amat dalam hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi dan penjajahan. Dan yang lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia menolak memetik buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama sekaligus mengancam nyawa.


Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan. Menginjak umur dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai sekarang sudah hidup di pengungsian selama tidak kurang dari empat puluh lima tahun. Setiap hari menerima surat sekaligus beritamenyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet sampai sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah Cina.


Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar kesedihan Dalai Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima hadiah nobel perdamaian di tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke negara-negara maju disambut lebih meriah dari penyanyi rock yang terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian banyak orang. Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang menyimpulkan kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.


Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita Peron. Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena ayahnya meninggal. Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi pembantu rumah tangga. Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi bar. Dan bahkan sempat diisukan miring dalam dunia serba gemerlap ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak mengakhiri penderitaan, malah menambah panjangnya aliran sungai air mata. Namun kehidupan Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia bercahaya, di dunia ia juga bercahaya.


Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron. Tidak saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam. Namun kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam. Sebagaimana yang ia tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan kejernihan Pema Chodron mulai dengan sebuah kesedihan yang tidak terduga: suaminya mengaku jatuh cinta pada wanita lain dan minta segera cerai. Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap berjalan.


Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga yang membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga di salah satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan kalau mantan suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya, ternyata seorang pembuka pintu kehidupan yang mengagumkan.


Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini mengalami banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau soal hampir mati, atau hampir diterjang peluru panas sudah biasa. Namun tatkala membawa misi perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah Vietnam melarangnya kembali ke Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis. Dan penderitaan serta kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat nama Hanh demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai pemenang hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karya-karyanya lebih dari sekadar mengagumkan.


Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat besar oleh penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang. Namun semua ini sedang membukakan pintu kehidupan yang amat berguna: penderitaan dan cacian orang ternyata sejenis vitamin jiwa yang membuatnya jadi menyala. Ini mirip sekali dengan judul sebuah buku indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit, penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya. Tidak saja lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon agar dijauhkan dari penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit. Namun daftar panjang kisah manusia seperti Dalai Lama, Pema Chodron sampai dengan Thich Nhat Hanh ternyata bertutur berbeda. Hanya manusia-manusia yang penuh kesabaran dan ketabahan untuk tersenyum di tengah cacian dan penderitaan, kemudian jiwanya menyala menerangi kehidupan banyak sekali orang.


Ternyata, penderitaan dan cacian orang di tangan manusia-manusia sabar dan tabah bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman orang kemudian. Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian lebih wajah kehidupan yang serba instant, punyakah kita cukup banyak kesabaran dan ketabahan?
 

ZOOM UNIK::UNIK DAN UNIK Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger