Warung Bebas

Jumat, 31 Oktober 2008

Atasi Nyeri Haid Dengan Herbal Alami


Hampir seluruh perempuan di dunia pernah merasakan nyeri haid (Dismenorea), tentu saja dengan berbagai tingkatan mulai dari sekadar pegal-pegal di seputaran panggul dan sisi dalam hingga rasa nyeri yang luar biasa sakitnya. Namun, tak perlu khawatir karena nyeri haid itu bukanlah suatu penyakit, melainkan gejala yang timbul akibat adanya kelainan dalam organ panggul. Bila kelainan itu diobati, maka nyeri haid akan hilang dengan sendirinya.

Seperti dikemukakan dr Boy Abidin SpOG dari RS Mitra Keluarga Kelapa Gading dalam acara media workshop, di Jakarta, pekan lalu, nyeri yang terasa dibawah perut itu biasanya terjadi pada hari pertama dan kedua haid. Derajat nyeriberkurang setelah keluar darah yang cukup banyak.

Penyebabnya secara alamiah bermacam-macam, dari meningkatnya prostaglandin sampai dengan perubahan hormonal ketika mulai haid, dan bahkan kecemasan yang berlebihan. Bila ditilik dari faktor penyebabnya, dr Boy membagi dalam dua kategori nyeri haid, yaitu primer dan sekunder.

"Untuk yang primer, faktor penyebabnya sering tak diketahui dengan pasti. Tetapi untuk nyeri haid sekunder, hampir sebagian besar disebabkan oleh kelainan dalam organ panggul," kata dr Boy seraya menyebut kelainan panggul itu antara lain endometriosis, infeksi, kelainan rahim sampai dengan penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim.

Angka kejadian nyeri haid di dunia sangat besar. Rata-rata lebih dari 50 persen perempuan di setiap negara mengalaminya. Di Amerika angka prosentasenya sekitar 60 persen dan di Swedia 72 persen.

"Sementara di Indonesia angkanya diperkirakan mencapai 55 persen perempuan usia produktif tersiksa oleh nyeri selama haid. Harap dicatat, sebagian dari perempuan yang terserang gejala nyeri haid yang berat bahkan tak mampu beraktifitas," katanya.

Untuk mengantisipasi nyeri haid, menurut dr Boy Abidin, ada beberapa terapi yang bisa dilakukan. Disebutkan, antara lain, terapi anti prostaglandin, terapi hormonal, terapi bahan alami, dan tentu saja menjalani pola hidup sehat.

"Dua terapi pertama jelas melibatkan seorang dokter. Tapi untuk terapi bahan alami dan pola hidup sehat bisa dilakukan sendiri. Seperti memperhatikan asupan gizi seimbang, istirahat cukup dan olahraga sesuai kebutuhan," ujar dr Boy Abidin menyodorkan terapi alternatif itu.

Tapi masalahnya, sekarang ini banyak perempuan yang berkarir di luar rumah yang seringkali kesulitan waktu untuk melakukan hal-hal sehat semacam itu?

Pilihan berikutnya adalah terapi bahan alami. Sudah semakin lazim tren kembali ke alam. Tak mengherankan jika semakin banyak asupan berbahan alami ataupun herbal ditawarkan sebagai "obat" atau minuman pengurang nyeri haid.

Menurut Dr Dyah Iswantini, MAgr dari Pusat Studi BioFarmaka IPB, ada sejumlah herbal alami yang digunakan untuk menjaga kesehatan perempuan seperti licorice, damiana, tabat barito, dong quai, chaste tree berry, black cohos, labisia pumila dan kunyit.

Berdasarkan Artikel pada Majalah Herba Edisi Januari 2005, Tanaman Baru Cina, Daun Ungu, Myana dan Kunyit Putih juga sangat efektif mengatasi nyeri haid. Dosis yang dianjurkan untuk terapi ini adalah sebesar 3x1 kaps/hari dengan dosis perkapsul adalah 500 mg. Sedangkan produk Herbal import yang cukup efektif untuk mengatasi gangguan saat haid adalah tumbuhan Primerose.

Namun produk/tanaman herba ini tidak dianjurkan Untuk wanita yang sedang hamil dan menyusui karena dapat membahayakan kandungan dan pertumbuhan bayinya. (T-1)

Sumber : - Suara Merdeka Online

- Majalah Herba Edisi Januari 2005

SehatHerbal menyediakan ektrak herbal barucina, daun ungu, myana dan kunyit putih dgn harga @ 75rb/50 kapsul. Info lebih lanjut 081310343598 atau sehatherbal@gmail.com
22 November 2006 (Obat Asli Indonesia > Tanaman Obat)
Berbagai manfaat Sambiloto Andrographis paniculata (Burm.F) Ness

Sambiloto dengan botanical name Andrographis paniculata (Burm. F) Nees atau Justicia paniculata Burm.f. merupakan tanaman obat yang tumbuh baik di Indonesia dan tersebar hampir di seluruh pulau Jawa, Madura dan Bawean dengan ketinggian 1 ~ 700 m di atas permukaan laut. Tanaman yang terkenal pahit ini termasuk dalam famili Acanthaceae dan merupakan terna yang tumbuh tegak hingga mencapai ketinggian 1 m, mempunyai bunga berwarna putih dengan tanda lembayung pada bibir bagian bawah. Daerah penyebarannya selain di Indonesia, juga ditemukan di India, Asia Tenggara dan bagian selatan China. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama sambiloto atau pepaitan, ki oray, ki peurat, takilo (Sunda), bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa), sedangkan di China dikenal dengan nama chuan xin lian.

Menurut beberapa pustaka, secara tradisional sambiloto digunakan untuk radang amandel, borok, penawar racun makanan, tifus, demam, gatal, penawar racun serangga, penawar racun ular, diabetes, tonikum, disentri, penyakit telinga, eksim, radang usus buntu, masuk angina, trakoma, dipteria, pembersih darah, ayan, siphilis, gonorrhea, dan ketombe.

Kandungan kimia utama sambiloto adalah senyawa diterpen termasuk andrographolide, 14-deoxyandrographolide(DA), 14-deoxy-11,12-didehydroandrographolide (DDA), 14-deoxy-11-oxoandrographolide, neoandrographolide, andrographiside (dideoxyandrographolide), deoxyandrographoside (andropanoside), andrograpanin, deoxyandrographolide-19-D-glucoside, 14-deoxy-12-methoxyandrographolide, dan senyawa flavonoid. Juga telah dilaporkan enam senyawa diterpen lain dari sambiloto, yaitu 14-epi-andrographolide, isoandrographolide, 14-deoxy-12-hydroxyandrographolide, dan 14-deoxy-11-hydroxyandrographolide dan glukosida diterpen, 14-deoxy-11,12-didehydrographiside dan 6,5f-acetyl-neoandrographolide, telah diisolasi bersama-sama dengan empat dimer diterpen baru, bis-andrographolide A, B, C, dan D.

Beberapa manfaat sambiloto berdasarkan hasil penelitian
Berbagai aktivitas farmakologi sambiloto telah dilaporkan termasuk sebagai antiradang, antikanker, serta untuk menurunkan tekanan darah. Sebagai antiradang, dilaporkan bahwa suatu ekstrak metanol sambiloto mampu menekan produksi nitric oxide (NO) yang distimulasi oleh lipopolysaccharide (LPS) secara in vitro maupun ex vivo.

Telah diketahui bahwa NO adalah salah satu senyawa yang bertanggungjawab dalam proses terjadinya peradangan. Pada pengujian selanjutnya, dua senyawa lakton diterpen, andrographolide dan neoandrographolide yang diisolasi dari ekstrak metanol sambiloto menunjukkan aktivitas penekanan produksi NO pada suatu ketergantungan dosis antara 0,1 - 100 .'6dM, dan IC50 (dosis penekanan produksi NO sampai 50% dibanding terhadap kontrol) untuk kedua senyawa tersebut masing-masing adalah 7,9 dan 35,5.'6dM. Pada pengujian secara in vivo, neoandrographolide juga menekan produksi NO 35% dan 40%, yaitu apabila makrofag dikumpulkan setelah pemberian neoandrographolide secara oral dengan dosis masing-masing 5 dan 25 mg/kg/hari, dan kemudian diukur produksi NO yang distimulasi dengan lipopolysaccharide (LPS). Dengan cara dan dosis yang sama, ternyata andrographolide tidak menurunkan produksi NO pada pemberian secara oral. Disimpulkan bahwa neoandrographolide yang menghambat produksi NO baik secara in vitro maupun in vivo kemungkinan memainkan suatu peranan penting dalam penggunaan sambiloto sebagai suatu sediaan antiradang.

Aktivitas antikanker dari andrographolide, komponen utama dari sambiloto juga telah diuji dengan menggunakan beberapa jenis sel kanker. Andrographolide menghambat perkembangbiakan (proliferasi) berbagai sel tumor yang mewakili berbagai tipe kanker secara in vitro, dengan cara langsung beraktivitas pada sel kanker dengan menahan siklus sel pada fase G0/G1 melalui induksi penghambatan siklus sel protein p27 dan mengurangi aktivitas cyclin-dependent kinase 4 (CDK4). Aktivitas immunostimulan andrographolide ditunjukkan oleh peningkatan proliferasi lymphocytes dan produksi interleukin-2. Andrographolide juga mempertinggi produksi tumor necrosis factor-alpha (TNF-.'61) sehingga meningkatkan aktivitas sitotoksis lymphocyte terhadap sel kanker yang secara tidak langsung berefek antikanker. Hasil ini menunjukkan bahwa andrographolide merupakan suatu komponen yang menarik dengan aktivitas antikanker dan immunomodulator, karena itu mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai suatu sediaan terapi kanker.

Larutan infus dari 6 - 7 daun sambiloto dikatakan efektif menurunkan tekanan darah tinggi sehingga dapat digunakan untuk penderita hipertensi. Dalam suatu percobaan untuk membuktikan efek penurunan tekanan darah, crude ekstrak air sambiloto telah difraksinasi menggunakan pelarut yang berbeda polaritasnya menjadi fraksi etilasetat (FA), fraksi butanol (FB), dan fraksi air (FC). Fraksi-fraksi ini kemudian diuji pada tikus Sprague-Dawley (SD) melihat efek yang ditimbulkan terhadap mean arterial blood pressure (MAP). MAP adalah rata-rata tekanan sistolik yang mengalirkan darah ke seluruh organ sistemik dan merupakan suatu critical cardiovascular parameter. Ditemukan bahwa FA tidak mereduksi MAP, sementara crude ekstrak air sambiloto (WE), FB dan FC menyebabkan penurunan MAP yang signifikan dalam suatu ketergantungan dosis tanpa mengakibatkan penurunan denyut jantung yang signifikan. Nilai ED50 (dosis efektif yang menyebakan penurunan MAP sampai separuhnya dibandingkan terhadap kontrol) untuk WE, FB dan FC masing-masing adalah 11,4; 5,0; dan 8,6 mg/kg. Data ini menunjukkan bahwa komponen yang menyebabkan hipotensi terdapat dalam WE, FB dan FC. Tidak adanya penurunan denyut jantung yang signifikan menegaskan bahwa komponen penyebab hipotensi dalam farksi-fraksi ini mungkin tidak mempunyai efek langsung terhadap jantung.

Penelitian selanjutnya dipusatkan untuk mengevaluasi mekanisme aksi penurunan tekanan darah dari sambiloto menggunakan fraksi butanol (FB) dosis 5 mg/kg. Ditemukan bahwa a-adrenoceptor, muscarinic cholinergic receptor, dan angiotensin converting enzyme (ACE) tidak terlibat dalam aksi hipotensi dari FB. Hal ini terlihat karena aksi hipotensi FB tidak terpengaruh oleh propranolol, atropine, dan captopril. Selanjutnya, dengan adanya hexamethonium, pyrilamine, dan cimetidine, penurunan MAP oleh FB secara signifikan diperlemah, menunjukkan bahwa aksi hipotensi FB mungkin melibatkan autonomic ganglion dan histaminergic sistem.
Beberapa senyawa diterpen dari sambiloto yaitu DA, DDA, andrographolide, andrographiside, dan neoandrographolide, diuji untuk melihat pengaruhnya terhadap MAP menggunakan tikus SD. Ditemukan bahwa andrographolide, andrographiside, dan neoandrographolide tidak memberikan efek terhadap MAP, sedangkan DDA menurunkan MAP dan kecepatan denyut jantung dengan ketergantungan dosis, sementara DA mempunyai efek yang agak lemah pada parameter yang diuji dibandingkan dengan DDA. Hasil ini menunjukkan bahwa efek hipotensi dari sambiloto dapat disebabkan oleh kedua senyawa diterpen, DDA dan DA. Disimpulkan bahwa suatu infus dari sambiloto dapat memberikan manfaat secara ilmiah untuk pengobatan hipertensi.

SehatHerbal.Com menyediakan ektrak herbal sambiloto, harga 50rb/45 kapsul. Info lebih lanjut 081310343598 atau sehatherbal@gmail.com

Minggu, 26 Oktober 2008

GEJALA STROKE

Sewaktu pesta barbeque,seorang teman terjatuh - dia meyakinkan semua orang yang datang kalau dia tidak apa-apa dan katanya hanya tersandung batu bata karena sepatu barunya (padahal mereka menawarkan memanggil paramedik).

Mereka membantunya membersihkan diri dan mengambilkan piring makanan baru. Meskipun terlihat sedikit terguncang, Ingrid meneruskan menikmati sore itu. Malamnya, suami Ingrid menelpon memberitahukan semua orang bahwa istrinya telah dibawa ke rumah sakit - (pukul 6 sore besoknya, Ingrid meninggal).

Dia mendapat serangan stroke pada pesta barbeque. Kalau saja mereka tahu
bagaimana mengenali tanda-tanda stroke mungkin Ingrid masih bersama kita hari ini.
Hanya membutuhkan satu menit untuk membaca ini.

Seorang ahli syaraf mengatakan bahwa kalau dia bisa menolong seorang korban stroke dalam waktu 3 jam sejak serangan tersebut, dia bisa membalikkan efek akibat stroke secara total! Dia mengatakan bahwa triknya adalah mengenali dan mendiagnosa stroke dalam waktu 3 jam sejak serangan, yang sebenarnya merupakan hal yang sulit.

MENGENALI STROKE
Baca dan pelajarilah!
Kadang-kadang gejala stroke sulit dikenali.
Sayangnya,kurangnya kewaspadaan dapat mendatangkan bencana. Korban stroke dapat menderita kerusakan otak sewaktu orang-orang yang ada disekitarnya pada saat kejadian, gagal mengenali gejala-gejala stroke.

Sekarang banyak dokter mengatakan bahwa orang di sekitar korban dapat
mengenali gejala stroke dengan menanyakan tiga pertanyaan sederhana ini:

1.Minta orang tersebut untuk TERSENYUM.
2.Minta orang tersebut untuk MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA.
3.Minta orang tersebut untuk MENGUCAPKAN SEBUAH KALIMAT SEDERHANA (yang masuk akal), contoh: “Hari ini cerah.” Blablabla… .

Bila orang tersebut tidak bisa melakukan apa yang kita minta diatas atau salah satunya segera bawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama selanjutnya.

Beberapa Tanaman Obat berkhasiat untuk atasi stroke :

1. Daun Dewa - atasi pembekuan darah & melancarkan sirkulasi darah
2. Pegagan - anti-hipertensi dan melancarkan sirkulasi darah
3. Sambung Nyawa, anti kolesterol

Sehatherbal.Com menyediakan ektrak herbal tsb, info lebih lanjut hub. 081310343598 atau sehatherbal@gmail.com
Gandarusa, Bikin Sperma Loyo

Kamis, 23 Oktober 2008 | 18:15 WIB
UPAYA untuk menciptakan alat kontrasepsi pria alternatif dari ekstrak daun Gandarusa (Gendarussa vulgaris Ness) tampaknya masih belum bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Penelitian tentang potensi tumbuhan ini masih terus dilakukan oleh para ahli di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya, dan baru memasuki riset tahap kedua.

"Risetnya baru memasuki tahap dua, jadi saya kira masih lama untuk bisa dirilis sebagai alat atau obat kontrasepsi," ungkap Kepala Badan Koordinasi Keluaga Berencana Nasional (BKKBN), Dr Sugiri Sjarief dalam temu pers Memperingati Hari Kontrasepsi Se-dunia di Jakarta, Kamis (23/10).

Gandarusa, terang Sugiri, diyakini memiliki potensi menjadi pilihan bagi pria selain dua jenis kontrasepsi yang ada saat ini yakni kondom dan vasektomi. Penelitian Gandarusa mendapat dukungan BKKBN karena efeknya yang mampu mempengaruhi kemampuan sperma pria.

Gandarusa diyakni mampu mempengaruhi produksi enzim hialuronidase dalam sperma laki-laki. Enzim inilah yang berfungsi melunakkan dinding sel telur sehingga sperma dapat menembus sel telur wanita untuk proses pembuahan.

Efek Gandarusa terhadap penurunan aktivitas hialuronidase sebelumnya telah diteliti pada spermatozoa mencit. Penurunan aktivitas hialuronidase yang timbul akibat pemberian ekstrak gandarusa membuat sperma tidak mampu menembus sel telur.

"Nah bentuk kontrasepsinya ini yang masih dalam penelitian, apakah nantinya yang lebih efektif dalam bentuk pil, suntikan, apa mungkin susuk. Penelitian tahap dua baru sebatas menemukan konstelasi antara pengaruh ekstrak terhadap sperma," ungkapnya.

Untuk penemuan lain tentang adanya obat atau zat lain yang berpotensi menjadi kontrasepsi pria lainnya, Sugiri menyatakan BKKBN sejauh masih belum menerima informasi baru. "Untuk riset-riset yang lain belum ada. Belum ada yang memberi harapan baru," tandasnya.

http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/23/18154134/gandarusa.bikin.sperma.loyo

Khasiat lain dari Gandarusa :
GANDARUSA ( Justicia gendarussa Burm.F )melancarkan peredarandarah,antirheumatik. Di India : penurun panas, merangsang mutah, sakit kepala,kelumpuhan otot wajah,eksem,sakit mata dan telinga Dosis Pencegahan 2x1 Caps/hari Dosis Pengobatan 3x2 Caps/hari.

SehatHerbal.Com menyediakan ektrak kapsul Gandarusa, 1 botol isi 50 kapsul harga Rp. 75.000. Info pemesanan : 081310343598 atau sehatherbal@gmail.com

Senin, 20 Oktober 2008

DART: Many Lessons Learned

The Diet and Reinfarction Trial (DART), published in 1989, is one of the most interesting clinical trials I've had the pleasure to read about recently. It included 2,033 British men who had already suffered from an acute myocardial infarction (MI; heart attack), and tested three different strategies to prevent further MIs. Subjects were divided into six groups:
  • One group was instructed to reduce total fat to 30% of calories (from about 35%) and replace saturated fat (SFA) with polyunsaturated fat (PUFA).

  • The second group was told to double grain fiber intake.

  • The third group was instructed to eat more fatty fish or take fish oil if they didn't like fish.

  • The remaining three were control groups that were not advised to change diet; one for each of the first three.

Researchers followed the six groups for two years, recording deaths and MIs. The fat group reduced their total fat intake from 35.0 to 32.3% of calories, while doubling the ratio of PUFA to SFA (to 0.78). After two years, there was no change in all-cause or cardiac mortality. This is totally consistent with the numerous other controlled trials that have been done on the subject. Here's the mortality curve:

Here's what the authors have to say about it:
Five randomised trials have been published in which a diet low in fat or with a high P/S [polyunsaturated/saturated fat] ratio was given to subjects who had recovered from MI. All these trials contained less than 500 subjects and none showed any reduction in deaths; indeed, one showed an increase in total mortality in the subjects who took the diet.
So... why do we keep banging our heads against the wall if clinical trials have already shown repeatedly that total fat and saturated fat consumption are irrelevant to heart disease and overall risk of dying? Are we going to keep doing these trials until we get a statistical fluke that confirms our favorite theory? This DART paper was published in 1989, and we have not stopped banging our heads against the wall since. The fact is, there has never been a properly controlled clinical trial that has shown an all-cause mortality benefit for reducing total or saturated fat in the diet (without changing other variables at the same time). More than a dozen have been conducted to date.

On to fish. The fish group tripled their omega-3 intake, going from 0.6 grams per week of EPA to 2.4 g (EPA was their proxy for fish intake). This group saw a significant reduction in MI and all-cause deaths, 9.3% vs 12.8% total deaths over two years (a 27% relative risk reduction). Here's the survival chart:

Balancing omega-6 intake with omega-3 has consistently improved cardiac risk in clinical trials. I've discussed that here.

The thing that makes the DART trial really unique is it's the only controlled trial I'm aware of that examined the effect of grain fiber on mortality (without simultaneously changing other factors). The fiber group doubled their grain fiber intake, going from 9 to 17 grams by eating more whole grains. This group saw a non-significant trend toward increased mortality and MI compared to its control group. Deaths went up from 9.9% to 12.1%, a relative risk increase of 18%. I suspect this result was right on the cusp of statistical significance, judging by the numbers and the look of the survival curve:


You can see that the effect is consistent and increases over time. At this rate, it probably would have been statistically significant at 2.5 years.

I think the problem with whole grains is that the bran and germ contain a disproportionate amount of toxins, such as the mineral-binding phytic acid.  The bran and germ also contain a disproportionate amount of nutrients. To have your cake and eat it too, soak, sprout or ferment grains. This reduces the toxin load but preserves or enhances nutritional value. Wheat may be a problem whether it's treated this way or not.

Subjects in the studies above were eating grain fiber that was not treated properly, and so they were increasing their intake of some pretty nasty toxins while decreasing their nutrient absorption. Healthy non-industrial cultures would never have made this mistake. Grains must be treated with respect, and whole grains in particular.

Rabu, 15 Oktober 2008

CIPLUKAN HERBAL UNTK ATASI HIPERTIROID

Riau, Jakarta, Singapura. Itulah kota-kota tempat Albertus Suharno mencari kesembuhan. 'Bola mata berputar dan serasa akan keluar,' kata pria kelahiran Yogyakarta, 8 Agustus 1944 itu. Suhu tubuhnya 40 oC, jakun membesar, dan sekujur tubuh bergetar.

Albertus Suharno langsung mendatangi dokter perusahaan di Batam, Riau. Ia bekerja sebagai penyelia di perusahaan minyak asing. Hasil diagnosis menyebutkan Suharno positif hipertiroid. 'Dokter juga tidak tahu penyebabnya, tapi yang paling mungkin adalah stres akibat pekerjaan,' kata suami Sri Widawati itu. Walau sakit, karyawan yang bertanggung jawab terhadap operasional pengeboran tetap bekerja.

Setiap akhir pekan, ia terbang ke Jakarta untuk memeriksakan diri ke Rumah Sakit Pusat Pertamina sesuai rujukan dokter perusahaannya. 'Awalnya, saya juga dirawat inap di rumahsakit itu selama 2 minggu,' kata Suharno. Saat itu, ia diberi radioaktif yodium. Setelah mengkonsumsi kapsul cair berwarna bening itu, kerabatnya yang masih kecil, perempuan hamil, dan lanjut usia dilarang menjenguk. Sebab, obat itu berefek radiasi yang mampu mengubah peta gen.

Hiperaktif
Menurut Prof dr Slamet Suyono SpPD-KE, endokrinologis Rumahsakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, radioaktif yodium diberikan oral dalam bentuk pil atau cairan. Gunanya untuk mengatasi kelenjar yang hiperaktif. 'Lebih dari 80% pasien hipertiroid sembuh dengan dosis tunggal yodium radioaktif,' katanya. Setelah mengkonsumsi pil radioaktif, tiroid Suharno memang mengempis.

Selain itu, suhu tubuh normal dan gemetar pada tubuh pun hilang. Sayang, seminggu setelah pulang ke Batam, penyakit itu kambuh kembali disertai rambut rontok. Menurut Prof Slamet Suyono rontoknya rambut akibat obat radiasi untuk mengatasi hipertiroid. Disebut hipertiroid bila kadar hormon T4 melebihi ambang normal, 4,3-12,4 ug/dl. Tiroid adalah kelenjar berbentuk kupu-kupu di leher, di bawah jakun. Bobotnya kurang dari 28,4 g.

Meski ringan, jangan anggap enteng tiroid alias gondok. Jika tiroid rusak menimbulkan dampak besar bagi tubuh. Setiap aspek metabolisme tubuh, dari detak jantung, pertumbuhan tinggi badan, hingga kecepatan tubuh membakar kalori, melibatkan kerja hormon pada tiroid. 'Terganggunya fungsi tiroid menyebabkan metabolisme tubuh terhambat,' kata endokrinologis alias ahli penyakit dalam yang berhubungan dengan hormon itu. Kelainan itu disebut trauma kelenjar.
Disebut rusak jika fungsi kelenjar menyimpang dari fungsinya untuk memproduksi dua macam hormon, T4 dan T3. Kondisi kelainan kelenjar bermacam-macam, yakni hipotiroid, hipertiroid, dan eutiroid. Hipo artinya kelenjar gagal memproduksi hormon seperti keadaan normal. Eutiroid terjadi bila kelenjar membesar, tapi fungsinya berjalan normal. Hipertiroid justru sebaliknya, kelenjar terlalu aktif memproduksi hormon hingga kadar T3 dan T4 melambung. Bobot tubuh pasien hipertiroid biasanya anjlok, mata melotot, dan badan sering berkeringat. Penderita juga sering marah-marah karena tidak bisa mengendalikan emosi.

Tinggi
Hipertiroid mempengaruhi fungsi kelenjar hipotalamus dan testis. Beberapa penyebab hipertiroid adalah penyakit graves, berlebihnya konsumsi hormon tiroid, terjadi peradangan pada kelenjar tiroid, atau sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) oleh kelenjar pituitari secara abnormal.

Karena tak kunjung membaik, Suharno mencari kesembuhan ke Singapura. Dokter Mount Elizabeth Hospital, Singapura, mengatakan Suharno memang terjangkit hipertiroid. Itu sesuai hasil laboratorium yang menunjukkan nilai hormon tiroid T4 sebesar 18,0 ug/dl. Nilai FTI sebesar 21,4 ug/dl; kadar normal, 3,9-14,0 ug/dl. Sedangkan T3 sebesar 567 ng/dl; normal 80-220 ng/dl nilai TSH hanya 0,03 uIU/ml; kadar normal, 0,50-4,00 uIU/ml.

Dengan hasil laboratorium itu, dokter memberikan kembali pil radioaktif yodium 131 sebanyak 2 kali dan menyuruh mengkonsumsi propylthiouracil (PTU) 100 mg selama 2 pekan. Ia menjalani perawatan di Singapura 6 kali dalam 3 bulan. Hasilnya, bukan kesembuhan yang didapat tetapi tubuh menghitam dan kurus. Bobotnya tersisa 48 kg; sebelum sakit, 54 kg.

Bahkan nilai T3 tetap di atas ambang batas, yaitu 383 ng/dl; FTI 14,2 ug/dl, dan TSH kurang dari 0,03 uIU/ml. Suharno hampir putus asa mencari kesembuhan dengan obat kimia. Oleh karena itu ia menuruti saran temannya, Karno, untuk mengkonsumsi ciplukan. Tanaman asal Peru itu tumbuh di ladang atau lahan kosong. Buahnya bulat tertutup dalam kantong mirip lampion. Sekilas bentuknya persis kantong kemih.
Itulah sebabnya ia diberi nama ilmiah Physalis peruviana. Dalam bahasa Yunani physalis berarti kantong kemih. 'Untung ada tanaman ciplukan di sekitar rumah,' kata Suharno yang tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor. Ayah 4 anak itu mencabut 3 tanaman setinggi rata-rata 50 cm beserta akarnya. Kemudian, pria 64 tahun itu mencuci bersih dan merebus ke-3 tanaman itu, termasuk buah dan akar, dalam 3 gelas air hingga mendidih dan tersisa 1 gelas.

Ampuh
Ia meminum segelas ramuan itu 1 kali sehari. Dua hari kemudian kegiatan mengekstrak ramuan ciplukan berulang. 'Rasanya sangat pahit,' kata kakek 1 cucu itu. Sehari setelah 2 kali konsumsi ekstrak ciplukan, Suharno merasakan perubahan. Seluruh gejala penyakit yang hinggap di tubuhnya hilang. Saat bangun tidur, ia tak merasakan kelelahan.

Jantung yang semula berdetak kencang atau tidak teratur alias palpitasi, suhu tubuh tinggi, gelisah, berkeringat, sesak napas, tangan gemetaran, dan otot lemah semuanya membaik. Yang menakjubkan jakunnya kempis. Sejak itu ia sembuh dari hipertiroid. Sudah 16 tahun penyakit itu tak pernah kembali merasuki tubuh Suharno.
Anggota famili Solanaceae itu terbukti ampuh mengatasi hipertiroid. Ciplukan mengandung senyawa asam sitrun, fisalin, asam malat, alkaloid, tanin, kriptoxantin, dan vitamin C. Di Indonesia belum ada riset ilmiah yang membuktikan kemujaraban kerabat tomat itu.

Namun, di mancanegara banyak ahli menelitinya. Mahmood Vessal dari Departemen Biokimia Shiraz University of Medical Sciences, Iran, misalnya, membuktikan keampuhan ciplukan mengatasi hipertiroid. Ia menginjeksi ekstrak ciplukan ke tikus betina dewasa. Hasilnya, aktivitas lysyl-aminopeptidase (Lys-AP) pada pituari meningkat 50% dan 45% basomedial hypothalamus (BMH). Nilai itu mirip dengan pemberian beta estradiol 15 ?g selama 5-8 hari ke tikus.

Jika tikus diberikan beta estradiol sekaligus larutan ciplukan meningkatkan aktivitas enzim pituitari sebanyak 9% dan hipotalamus 5%. Dengan meningkatnya aktivitas enzim hipotalamus dan pituari, sekresi TSH yang tidak beraturan dapat dicegah. Departemen Farmasi Universitas Cartagena, Kolumbia menemukan ciplukan bersifat imunomodulator alias peningkat kekebalan dan juga antipembengkakan. Tumbuhan yang di sini disia-siakan itu ternyata berkhasiat mengatasi hipertiroid. (Vina Fitriani).
Sumber : trubusid/ Sabtu, April 05, 2008 00:47:57

NB :
1. Selain ciplukan, jg dikonsumsi ektrak mengkudu yang berfungsi meningkatkan fungsi kelenjar tiroid dan seledri utk atasi dada berdebar.
2. SehatHerbal.Com menyediakan Kapsul Cipluka 100%, harga Rp. 50.000/btl isi 50 kapsul @ 500mg dan mengkkudu 100% harga 50rb/50 kapsul @ 500mg dan seledri 50rb/50kpsul. Info pemesanan 081310343598

Minggu, 12 Oktober 2008


Teh Hijau Bikin Antibiotik Makin Ampuh

GETTY IMAGES/CHUNG SUNG-JUN
Tiga cangkir teh hijau sehari dapat menyumbang cukup antioksidan bagi tubuh Anda, sehingga mampu melawan penuaan dini serta peradangan. Risiko kanker kulit juga akan jauh berkurang.
/Jumat, 11 Juli 2008 | 14:37 WIB
Ribuan penelitian telah mengungkapkan, teh hijau adalah minuman alami menyehatkan dan kaya akan kandungan antioksidan. Faedahnya pun begitu beragam, mulai dari memelihara kesehatan jantung hingga menekan risiko kanker.

Berdasarkan temuan para ahli di Mesir, teh hijau ternyata juga memiliki pengaruh positif bagi antibiotik. Para peneliti dari Universitas Alexandria menyimpulkan, teh hijau mampu meningkatkan keampuhan antibiotik dalam membunuh bakteri resisten hingga 3 kali lipat, bahkan kuman super sekalipun.

Teh hijau adalah salah satu jenis minuman favorit bagi warga Mesir. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka kerap meminumnya bersama obat-obatan seperti antibiotik. Peneliti tertarik melihat apakah teh hijau dapat menurunkan, meningkatkan, atau sama sekali tak memengaruhi kinerja antibiotik.

Hasilnya mengejutkan, menurut studi yang hasilnya dipresentasikan pada pertemuan Society for General Microbiology di Edinburgh, Skotlandia, akhir Maret 2008, teh hijau mampu meningkatkan kemampuan antibiotik melawan bakteri resisten, bahkan kuman super sekalipun.

"Kami menguji kombinasi teh hijau dengan antibiotik melawan 28 penyakit yang disebabkan dua kelas mikroorganise," kata Dr Mervat Kaseem dari Fakultas Farmasi Universitas Alexandria yang memimpin studi itu.

Ia menjelaskan, "Pada setiap kasus tertentu, teh hijau terbukti meningkatkan aktivitas antibiotik membunuh bakteri. Misalnya, efek kloramfenikol membunuh bakteri 99,99 persen lebih baik dari saat meminum teh hijau dibandingkan tanpa menggunakannnya."

Kaseem dan timnya juga menemukan teh hijau mampu membuat 20 persen bakteri resisten menjadi rentan dengan antibiotik sefalosporin, sejenis antibiotik penting untuk mengatasi strain bakteri yang telah berubah menjadi resisten atau kebal.

Peneliti menambahkan, hampir pada setiap kasus dan semua tipe antibiotik yang mereka uji, pemberian antibiotik bersama teh hijau meningkatkan kerja antibiotik tersebut, serta mengurangi resitensi obat pada bakteri. Dan untuk kasus tertentu, green tea dengan konsentrasi rendah sekalipun tetap efektif.

"Hasil studi kami menunjukkan bahwa kita harus mempertimbangkannya lebih serius bahan-bahan alami yang dikonsumsi setiap hari," ujar Kaseem.

"Di masa mendatang kami akan mencari dan meneliti bahan alami lain seperti majoram dan thyme. Ini diperlukan untuk menguji apakah mereka juga mempunyai zat aktif yang membantu memerangi bakteri resisten terhadap obat," katanya.


AC;Sumber : healthdaynews

NB; SehatHerbal.Com menyediakan GREEN TEA IXORA dengan harga Rp. 60.000/kotak utk konsumsi sekitar 40 hari.

Info lebih lanjut dan pemesanan ke 081310343598 atau sehatherbal@gmail.com

TEH HIJAU LINDUNGI OTAK DARI KEKURANGAN OKSIGEN


Rabu, 21 Mei 2008 | 15:13 WIB
ANDA para penggemar teh hijau selayaknya bersyukur karena senyawa-senyawa yang ditemukan dalam teh hijau mungkin melindungi otak dari efek-efek gangguan tidur yang menyebabkan terjadinya ngorok dan henti napas.

Komponen atau zat aktif yag ditemukan di dalam teh hijau disinyalir dapat menangkal kerusakan saraf akibat gangguan napas yang terjadi pada mereka yang mengalami gangguan tidur (disorder sleep apnea). Demikian sebuah penelitian atas hewan.

Para ilmuwan menemukan bahwa saat mereka menambahkan antioksidan yang terkandung dalam teh hijau pada minuman yang diberikan ke tikus percobaan tampak kandungan zat kimia ini melindungi otak binatang-binatang ini saat kekurangan oksigen yang didesain mirip dengan gejala yang terjadi akibat efek obstructive sleep apnea (OSA) atau gangguan tidur.

Temuan ini mengisyaratkan bahwa komponen dalam teh hijau selayaknya diperhitungkan untuk diteliti lebih lanjut karena berpotensi sebagai terapi untuk gangguan tidur ini (OSA), demikian dilaporkan para ilmuwan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.

OSA merupakan gangguan sementara yang terjadi di jaringan lunak tenggorokan. Gangguan ini menyebabkan terhalangnya jalur pernapasan selama tidur. Akibatnya, terjadilah henti napas sebentar selama beberapa kali sepanjang tidur malam.

Gejala yang segera tampak biasanya suara ngorok yang keras yang berlangsung kronis dan napas terengah-engah dan terjadi tak hanya saat tidur malam, tetapi juga saat tidur siang. Bila tak tertangani dengan baik, OSA dapat menyebabkan gangguan di seluruh tubuh, seperti meningkatnya tekanan darah. Lebih dari itu, kurangnya pasokan oksigen ke otak dapat memunculkan gangguan memori. Demikian diungkapkan Dr David Gozal dan koleganya di University of Louisville School of Medicine di Kentucky.

Namun, ternyata, menurut David, komponen dalam teh hijau yang disebut catechin polyphenols ternyata dapat melindungi otak dari kekurangan oksigen. Catechin polyphenols bertindak sebagai antioksidan. Artinya, unsur ini membantu menetralisasi partikel-partikel sel yang rusak akibat radikal bebas. Radikal bebas hasil sampingan metabolisme yang bila berlebihan menyebabkan stres oksidatif.

Kekurangan oksigen juga menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang mengakibatkan gangguan kognitif pada mereka yang mengalami gangguan tidur.

Gozal dan koleganya menemukan bahwa saat tikus-tikus itu mengalami krisis karena kurang oksigen selama lebih dari 14 hari pertanda bahwa stres oksidatif sedang terjadi di otak, otak terlindungi dan tidak mengalami penurunan fungsi secara berarti akibat air teh hijau yang mengandung polyphenols yang diberikan. Sementara tikus yang tidak diberi teh hijau kondisinya kebalikannya.

Secara teoretis, Gozal mengungkapkan bahwa asupan teh hijau secara teratur merupakan perawatan standar yang dapat digunakan untuk menangani OSA. “Meski begitu,” katanya, “bukti jelas bahwa teh hijau dapat menolong gangguan OSA mesti diujikan lebih lanjut dengan mencobakannya pada manusia.”

Sumber: American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, May 15, 2008

NB; SehatHerbal.Com menyediakan Green Tea Ixora, dengan harga Rp.60.000/kotak utk konsumsi sekitar 40 hari.

Info lebih lanjut dan pemesanan ke 081310343598 atau sehatherbal@gmail.com

We're Starting to Get It

I just read an interesting post on the Food is Love blog.
According to the USDA (admittedly not always the most reliable source of accurate information, but we’ll go with it for the moment), the number of farmers markets in the US has risen significantly in the last ten years, from 2,746 in 1998 to 4,685 in 2008. If we get another 580 markets, an increase possible in the next year or two if trends continue, we’ll have tripled the number of recorded markets since 1994.
Furthermore,
Plenty of farmers markets don’t get tallied in official lists, of course. Valereee, over at Cincinnati Locavore, points out that the USDA database only lists a quarter of the markets in her hometown. I see a few missing on the Seattle list as well.
People are slowly starting to get it. We're realizing that the processed food industry does not look out for our best interests. We're realizing that the frailty of modern children as well as our own health problems are due to the outsourcing of agriculture and food preparation. We're realizing that local farms and markets build strong communities.

We're realizing that a return to traditional, wholesome food is the only path to whole health and well-being.


Further reading:
My Real Food manifesto.

Rabu, 08 Oktober 2008

One Last Thought

In Dr. Lindeberg's paleolithic diet trial, subjects began with ischemic heart disease, and glucose intolerance or type II diabetes. By the end of the 12-week study, on average their glucose control was approaching normal and every subject had normal fasting glucose. Glucose control and fasting glucose in subjects following the "Mediterranean diet" did not change significantly. He didn't report changes in cardiovascular risk factors.

Why was the paleolithic diet so effective at restoring glucose control, while the Mediterranean diet was not? I believe the reason is that the Mediterranean diet did not eliminate the foods that were causing the problem to begin with: processed grains, particularly wheat. The paleolithic diet was lower in carbohydrate than the Mediterranean diet (40% vs 52%), although not exceptionally so. The absolute difference was larger since the paleolithic dieters were eating fewer calories overall (134 g vs 231 g). When they analyzed the data, they found that "the effect of the paleolithic diet on glucose tolerance was independent of carbohydrate intake". In other words, paleolithic dieters saw an improvement in glucose tolerance even if they ate as much carbohydrate as the average for the Mediterranean group.

This study population is not representative of the general public. These are people who suffered from an extreme version of the "disease of civilization". But they are examples of a process that I believe applies to nearly all of us to some extent. This paper adds to the evidence that the modern diet is behind these diseases.

A quick note about grains. Some of you may have noticed a contradiction in how I bash grains and at the same time praise Nutrition and Physical Degeneration. I'm actually not against grains. I think they can be part of a healthy diet, but they have to be prepared correctly and used in moderation. Healthy non-industrial cultures almost invariably soaked, sprouted or sourdough-fermented their grains. These processes make grains much more nutritious and less irritating to the digestive tract, because they allow the seeds to naturally break down their own toxins such as phytic acid, trypsin inhibitors and lectins.

Gluten grains are a special case. 12% of the US public is though to be gluten sensitive, as judged by anti-gliadin antibodies in the bloodstream. Nearly a third have anti-gliadin antibodies in their feces [update- these two markers may or may not indicate gluten sensitivity. SJG 2011]. Roughly 1% have outright celiac disease, in which the gut lining degenerates in response to gluten. All forms of gluten sensitivity increase the risk of a staggering array of health problems. There's preliminary evidence that gluten may activate the innate immune system in many people even in the absence of antibodies. From an anthropological perspective, wherever wheat flour goes, so does the disease of civilization. Rice doesn't have the same effect. It's possible that properly prepared wheat, such as sourdough, might not cause the same problems, but I'm not taking my chances. I certainly don't recommend quick-rise bread, and that includes whole wheat. Whole wheat seemed to be enough to preserve glucose intolerance in Lindeberg's study...

Selasa, 07 Oktober 2008

ANDA MENGALAMI MASALAH STAMINA, EJAKULASI DINI DAN IMPOTENSI SERTA MASALAH PRIA LAINNYA ?
KOMBINASI MINUMAN HERBAL UNTUK ATASI MASALAH PRIA


Berbagai masalah sering dihadapi oleh para suami dalam melakukan hubungan intim dengan pasangannya seperti kurang stamina, ejakulasi dini, lemah syahwat, impotensi dll. Bila hal ini tidak cepat di atasi akan menimbulkan rasa rendah diri bagi suami kepada pasangannya.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, tetapi sekarang sudah ada cara yang PALING AMAN DAN ALAMI untuk mengatasi gangguan tersebut yaitu dengan minum kombinasi Kopi Herbal Ixora + Jahe Merah dengan air Green Tea Ixora.

Kombinasi minuman herbal tersebut sudah terbukti mengatasi impotensi, ejakulasi dini dan meningkatkan stamina pria.

Berdasarkan literatur kandungan yang terdapat dalam 3 macam produk herbal tsb memang sangat berkhasiat untuk mengatasi permasalahan yang sering dihadapi oleh pria.

Berikut literatur kandungan 3 macam produk herbal tersebut :

1. KOPI HERBAL IXORA
Kandungan : Mesoyi, Kapulaga, serimpi, dan secang untuk mencegah masuk angin. Jahe Merah dan Lengkuas merah untuk kebugaran tubuh. Daun Dewa untuk melancarkan aliran darah. Ginseng, dan Euricoma Radix (pasak Bumi) untuk stamina, Pegagan untuk revitalisasi otak dan kulit (dimana kadarnya dibuat tepat sehingga efek sedatifnya berkurang) dan Tribulus untuk menjaga organ reproduksi kita seta tapak liman dan daunsendok untuk menjaga ginjal dan juga menjaga tekanan darah kita semuanya itu kita campur dengan kombinasi yang tepat dan kita extraksi sehingga bau-bau herbalnya menjadi berkurang tanpa mengurnagi khasiatnya.Disamping itu kopi yang kita gunakan adalah kopi arabica extract kita pilih agar kopinya harum, serta cream yang digunakan adalah non dairy creamer atau creamer nabati non kolesterol

2. GREEN TEA IXORA
Menstimulasikan, mempelancar pembuangan air seni (diuretic);
Mengontrol peredaran darah dan membantu dalam menyembuhkan luka (astringent);
Mengoptimalkan kerja dan kesehatan jantung

3. JAHE MERAH IXORA
Khasiat umumnya menghangatkan badan, penambah nafsu makan, peluruh keringat, serta mencegah dan mengobati masuk angin. Di samping itu, juga berguna untuk mengatasi radang tenggorokan (bronkitis), rematik, sakit pinggang, lemah syahwat, nyeri lambung, meningkatkan stamina, meredakan asma, mengobati pusing, nyeri otot, ejakulasi dini, dan melancarkan air susu ibu.


KOMBINASI MINUMAN HERBAL INI SUDAH TERBUKTI, AMAN DAN ALAMI.
JIKA ANDA TERTARIK SILAHKAN CONTACT :
SehatHerbal.Com
Mangga Dua Square, Lantai UG Blok C
Jl. Gunung Sahari Raya
Tlp. 021-91752768- cartis

Senin, 06 Oktober 2008

Paleolithic Diet Clinical Trials Part II

There were a number of remarkable changes in both trials. I'll focus mostly on Dr. Lindeberg's trial because it was longer and better designed. The first thing I noticed is that caloric intake dropped dramatically in both trials, -36% in the first trial and a large but undetermined amount in Dr Lindeberg's. The Mediterranean diet group ended up eating 1,795 calories per day, while the paleolithic dieters ate 1,344. In both studies, participants were allowed to eat as much as they wanted, so those reductions were purely voluntary.

This again agrees with the theory that certain neolithic or industrial foods promote hyperphagia, or excessive eating. It's the same thing you see in low-carbohydrate diet trials, such as
this one, which also reduce grain intake. The participants in Lindeberg's study were borderline obese. When you're overweight and your body resets its fat mass set-point due to an improved diet, fatty acids come pouring out of fat tissue and you don't need as many calories to feel satisfied. Your diet is supplemented by generous quantities of lard. Your brain decreases your calorie intake until you approach your new set-point.

That's what I believe happened here. The paleolithic group supplemented their diet with 3.9 kg of their own rump fat over the course of 12 weeks, coming out to 30,000 additional calories, or 357 calories a day. Not quite so spartan when you think about it like that.

The most remarkable thing about Lindeberg's trial was the fact that
the 14 people in the paleolithic group, 2 of which had moderately elevated fasting blood glucose and 10 of which had diabetic fasting glucose, all ended up with normal fasting glucose after 12 weeks. That is truly amazing. The mediterranean diet worked also, but only in half as many participants.

If you look at their glucose tolerance by an oral glocose tolerance test (OGTT), the paleolithic diet group improved dramatically. Their rise in blood sugar after the OGTT (fasting BG subtracted out) was 76% less at 2 hours. If you look at the graph, they were basically back to fasting glucose levels at 2 hours, whereas before the trial they had only dropped slightly from the peak at that timepoint. The mediterranean diet group saw no significant improvement in fasting blood glucose or the OGTT. Lindeberg is pretty modest about this finding, but he essentially cured type II diabetes and glucose intolerance in 100% of the paleolithic group.

Fasting insulin, the insulin response to the OGTT and insulin sensitivity improved in the paleolithic diet whereas only insulin sensitivity improved significantly in the Mediterranean diet.
Fasting insulin didn't decrease as much as I would have thought, only 16% in the paleolithic group.

Another interesting thing is that the paleolithic group lost more belly fat than the Mediterranean group, as judged by waist circumference. This is the
most dangerous type of fat, which is associated with, and contributes to, insulin resistance and the metabolic syndrome. Guess what food belly fat was associated with when they analyzed the data? The strongest association was with grain consumption (probably mostly wheat), and the association remained even after adjusting for carbohydrate intake. In other words, the carbohydrate content of grains does not explain their association with belly fat because "paleo carbs" didn't associate with it. The effect of the paleolithic diet on glucose tolerance was also not related to carbohydrate intake.

So in summary, the "Mediterranean diet" may be healthier than a typical Swedish diet, while a diet loosely modeled after a paleolithic diet kicks both of their butts around the block. My opinion is that it's probably due to eliminating wheat, substantially reducing refined vegetable oils and dumping the processed junk in favor of real, whole foods.
Here's a zinger from the end of the paper that sums it up nicely (emphasis mine):
The larger improvement of glucose tolerance in the Paleolithic group was independent of energy intake and macronutrient composition, which suggests that avoiding Western foods is more important than counting calories, fat, carbohydrate or protein. The study adds to the notion that healthy diets based on whole-grain cereals and low-fat dairy products are only the second best choice in the prevention and treatment of type 2 diabetes.

Sabtu, 04 Oktober 2008

Paleolithic Diet Clinical Trials

If Dr. Ancel Keys (of diet-heart hypothesis fame) had been a proponent of "paleolithic nutrition", we would have numerous large intervention trials by now either confirming or denying its ability to prevent health problems. In this alternate reality, public health would probably be a lot better than it is today. Sadly, we have to settle for our current reality where the paleolithic diet has only been evaluated in two small trials, and medical research spends its (our) money repeatedly conducting failed attempts to link saturated fat to every ill you can think of. But let's at least take a look at what we have.

Both trials were conducted in Sweden. In the first one, lead by Dr. Per Wändell, 14 healthy participants (5 men, 9 women) completed a 3-week dietary intervention in which they were counseled to eat a "paleolithic diet". Calories were not restricted, only food categories were. Participants were told to eat as much as they wanted of fruit, vegetables, fish, lean meats, nuts, flax and canola oil, coffe and tea (without dairy). They were allowed restricted quantities of dried fruit, potatoes (2 medium/day) salted meat and fish, fat meat and honey. They were told not to eat dairy, grain products, canned food, sugar and salt.

After three weeks, the participants had:
  • Decreased their caloric intake from 2,478 to 1,584 kcal
  • Increased their percentage protein and fat, while decreasing carbohydrate
  • Decreased saturated fat, increased dietary cholesterol, decreased sodium intake, increased potassium
  • Lost 2.3 kg (5 lb)
  • Decreased waist circumference, blood pressure and PAI-1
Not bad for a 3-week intervention on healthy subjects. This study suffered from some serious problems, however. #1 is the lack of a control group as a means for comparison. Ouch. #2 is the small study size and resulting lack of statistical power. I consider this one encouraging but by no means conclusive.

The second study was conducted by the author of the Kitava study, Dr. Staffan Lindeberg. The study design was very interesting. He randomly assigned 29 men with ischemic heart disease, plus type II diabetes or glucose intolerance, to either a "Mediterranean diet" or a "paleolithic diet". Neither diet was calorie-restricted. Here's the beauty of the study design: the Mediterranean diet was the control for the paleo diet. The reason that's so great is it completely eliminates the placebo effect. Both groups were told they were being assigned to a healthy diet to try to improve their health. Each group was educated on the health benefits of their diet but not the other one. It would have been nice to see a regular non-intervention control group as well, but this design was adequate to see some differences.

Participants eating the Mediterranean diet were counseled to focus on whole grains, low-fat dairy, potatoes, legumes, vegetables, fruit, fatty fish and vegetable oils rich in monounsaturated fats and alpha-linolenic acid (omega-3). I'm going to go on a little tangent here. This is truly a bizarre concept of what people eat in the Mediterranean region. It's a fantasy invented in the US to justify the mainstream concept of a healthy diet. My father is French and I spent many summers with my family in southern France. They ate white bread, full-fat dairy at every meal, legumes with fatty pork, sausages and lamb chops. In fact, full-fat dairy wasn't fat enough sometimes. Many of the yogurts and cheeses we ate were made from milk with extra cream added. 

The paleolithic group was counseled to eat lean meat, fish, fruit, leafy and cruciferous vegetables, root vegetables (including moderate amounts of potatoes), eggs and nuts. They were told to avoid dairy, grain products, processed food, sugar and beer.

Both groups were bordering on obese at the beginning of the study. All participants had cardiovascular disease and moderate to severe glucose intolerance (i.e. type II diabetes). After 12 weeks, both groups improved on several parameters. That includes fat mass and waist circumference. But the paleolithic diet trumped the Mediterranean diet in many ways:
  • Greater fat loss in the the midsection and a trend toward greater weight loss
  • Greater voluntary reduction in caloric intake (total intake paleo= 1,344 kcal; Med= 1,795)
  • A remarkable improvement in glucose tolerance that did not occur significantly in the Mediterranean group
  • A decrease in fasting glucose
  • An increase in insulin sensitivity (HOMA-IR)
Overall, the paleolithic diet came out looking very good. But I haven't even gotten to the best part yet. At the beginning of the trial, 12 out of the 14 people in the paleo group had elevated fasting glucose. At the end, every single one had normal fasting glucose. In the Mediterranean group, 13 out of 15 began with elevated glucose and 8 out of 15 ended with it. This clearly shows that a paleolithic diet is an excellent way to restore glucose control to a person who still has beta cells in their pancreas.

This post is getting long, so I think I'll save the interpretation for the next post.

Rabu, 01 Oktober 2008

Acne Anecdotes

Thanks for all the interesting comments on the last post. Here are some highlights:

Methuselah:
I had bad acne as a teenager and although the worst of it did clear up for as I got older (this seems to be the pattern, so presumably there are hormones other than insulin involved,) I still had spotty skin into my 20s and 30s. When I went onto a Paleo diet my skin cleared up totally.
Neil:
I am lucky enough to have reasonable skin already, but reducing carbs and vegetable oils has at the least coincided with a notable improvement
Jeff:
I used to get... 2-3 pimples most months. Since I have gone Paleo I have had not a single pimple in 8 months.
Itsthewoo:
I had terrible acne that lasted from 9 yrs right up until 20 years - the same week I started the atkins diet. Then it stopped.
I see the skin as a barometer of health. A truly healthy person's skin is smooth, free of acne and has a gentle blush in the cheeks. Unhealthy skin is pale, puffy, pasty, dry, oily, or excessively red in the cheeks and face. It's no coincidence that what we perceive as attractive also happens to indicate health.

I'll add one more anecdote, from myself. In high school, my friends called me "the ghost" because my skin was so pale. I had mild but persistent acne and difficulty tanning. Over the past few years, as I've improved my diet, my skin has smoothed, I've regained the color in my cheeks, I've regained my ability to tan well and my acne has disappeared.
 

ZOOM UNIK::UNIK DAN UNIK Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger