Warung Bebas

Rabu, 11 Juli 2012

Gereja-gereja yang berubah menjadi Masjid

     Di saat umat Kristen Inggris “lari” dari gereja, umat Islam ambil alih tempat mereka untuk dijadikan masjid


     Hidayatullah.com–Di Peace Street 20 Bolton, berdiri sebuah gedung besar berkubah yang amat berwibawa, yang lengkap dengan menara. Tempat itu ramai dikunjungi warga Bolton, terutama yang memeluk Islam, bahkan tiap pekannya, ribuan umat Islam hadir di tempat ini, guna melaksanakan shalat Jumat. Gedung itu tidak lain adalah Masjid Zakariyya.

     Sejarah berdirinya masjid itu, bukanlah kisah yang singkat. Kala itu antara tahun 1965 hingga 1967 umat Islam Bolton dan Balckburn belum memiliki tempat permanen untuk melaksanakan shalat. Untuk melakukan shalat Jumat saja, mereka melaksanakannya di The Aspinal, sebuah diskotik dan tempat dansa yang digunakan di malam hari, sedang siangnya di hari Jumat tempat itu dibersihkan para relawan guna dijadikan sebagai tempat melaksanakan shalat Jumat.

     Karena jumlah jama’ah semakin bertambah, maka diperlukan tempat besar yang permanen. Dan dimulailah pencarian bangunan yang bisa digunakan sebagai masjid sekaligus islamic center.

   Pada tahun 1967, ada penawaran pembelian gedung bekas gereja komunitas Metodis, yang terpaksa dijual karena terbakar. Dengan dana sebesar 2750 pound sterling dari komunitas Muslim lokal, akhirnya bangunan itu menjadi milik umat Islam. Bangunan itulah yang kini disebut Masjid Zakariyya itu.

     Tidak hanya Masjid Zakariyya, beberapa masjid Inggris pun memiliki kisah yang hampir sama dengan kisah masjid kebanggan Muslim Bolton itu, yakni sama-sama berasal dari gereja yang dijual, baik karena kehilangan pengikut, atau karena sebab lainnya.

Berikut ini masjid-masjid yang dulunya merupakan gereja:

1. Masjid Jami’ London

     Tempat ibadah ini juga dikenal dengan sebutan masjid Brick Lane, karena posisinya di Brick Lane 52. Bangunan berdinding bata merah itu, merupakan masjid terbesar di London, yang mampu menampung 4000 jama’ah. Walau demikian luas, masjid ini belum bisa menampung seluruh anggota jama’ah shalat Jumat, hingga sering kali jama’ah meluber ke jalan raya. Mayoritas anggota jama’ah merupakan keturunan Banglades, hingga wilayah tersebut disebut Banglatow.

    Masjid ini memiliki sejarah yang sangat unik dan panjang. Awalnya, bangunan yang didirikan sejak tahun 1743 ini adalah gereja Protestan. Dibangun oleh komunitas Huguenot, atau para pemeluk Protestan yang lari dari Prancis untuk menghindari kekejaman penganut Katolik. Akan tetapi, karena jama’ahnya menurun, maka gereja ini dijual.

   Di tahun 1809, bangunan ini digunakan masyarakat London untuk mempromosikan Kristen kepada para pemeluk Yahudi, dengan cara mengajarkan Kristen dengan akar ajaran Yahudi. Tapi, program ini juga gagal. Dan bangunan diambil oleh komunitas Metodis pada tahun 1819.

     Komunitas Metodis cukup lama “memegang” gereja ini. Walau demikian, pada tahun 1897, tempat ini diambil oleh komunitas Ortodok Independen dan berbagi dengan Federasi Sinagog yang menempati lantai dua.

     Tapi tahun 1960-an komunitas Yahudi menyusut, karena mereka pindah ke wilayah utara London, seperti Golders Green dan Hendon, sehingga bangunan ditutup sementara, dan hal itu berlanjut hingga tahun 1976. Setelah itu gedung itu dibuka kembali, dengan nama barunya, Masjid Jami’ London.

2. Masjid Didsbury


      Masjid ini terletak di Burton Road, Didsbury Barat, Manchester. Gedung yang digunakan sebelumnya merupakan bekas gereja komunitas Metodis, yang bernama Albert Park. Gedung ini tergolong bangunan kuno, karena telah beroprasi sejak tahun 1883. Akan tetapi, pada tahun 1962 gereja ditutup, dan beralih menjadi masjid dan islamic center. Masjid ini, kini mampu menampung 100 jama’ah, dan yang bertanggung jawab sebagai imam dan khatib hingga kini adalah Syeikh Salim As Syaikhi.

3. Masjid Brent


     Terletak di Chichele Road, London NW2, dengan kapasitas 450 orang, dan dipimpin oleh Syeikh Muhammad Sadeez. Awalnya, bangunan itu merupakan gereja. Hingga kini ciri bentuknya tidak banyak berubah. Hanya ditambah kubah kecil berwarna hijau di beberapa bagian bangunan dan puncak menara.

4. Masjid New Peckham


     Didirikan oleh Syeikh Nadzim Al Kibrisi. Terletak di dekat Burgess Park, tepatnya di London Selatan SE5. Kini masjid ini berada di bawah pengawasan Imam Muharrim Atlig dan Imam Hasan Bashri. Sebelumnya, gedung masjid ini merupakan bekas gereja St Marks Cathedral.

5. Masjid Sentral Wembley


     Masjid ini terletak di jantung kota Wembley, dekat dengan Wembley Park Station. Daerah ini memiliki komunitas Muslim besar dan banyak toko Muslim yang berada di sekitarnya. Gedung masjid ini sebelumnya juga merupakan bekas gereja. Walau sudah terpasang kubah di puncak menaranya, tapi kekhasan bangunan gereja masih nampak jelas. 

     Dengan demikian, siapa saja yang melihatnya, akan mengetahui bahwa bangunan itu dulunya adalah gereja. Selian masjid-masjid di atas, sebuah gereja bersejarah di Southend juga sudah dibeli oleh Masjid Jami’ Essex dengan harga 850 ribu pound sterling. Gereja dijual, karena jama’ah berkurang, sehingga kegiatan peribadatan dipusatkan di Bournemouth Park Road. Konseskwensinya, gereja ini sudah tidak beroprasi sejak tahun 2006 lalu.

     Rencananya gereja akan dijadikan apartemen, tapi gagasan itu ditolak oleh Dewan Southend. Akhirnya, gereja kosong itu dibeli oleh komunitas Muslim yang tinggal di kota itu, yang juga sedang membutuhkan tempat untuk melaksanakan ibadah.

     Saat itu jumlah komunitas ini mencapai 250 orang, “gereja bekas” itu merupakan tempat yang sesuai, karena mampu menampung 300 jama’ah. Tidak banyak dilakukan perubahan pada bentuk bangunan yang telah berumur 100 tahun lebih itu, hanya perlu menambah tempat untuk berwudhu dan sebuah menara.

Koleksi Cover Majalah Bobo tahun 70-an

Edisi 14 April 197?...

Edisi No. 27 Tahun ke 2, 1 Maret 1975

Edisi No.3, Tahun ke 2, 11 Mei 1974

Edisi No.2 Tahun ke-2, 27 April 1974, harganya Rp 55 coy..!

Edisi No.4 Tahun ke-2, 25 Mei 1974

Edisi No.5, Tahun ke-2, 15 Juni 1974

Edisi No.17 Tahun ke 4, 8 Agustus 1978, harga Rp. 125

Edisi No. 26 Tahun ???
Edisi No.1, Tahun ke 2, 13 April 1974, harga Rp 45
Sumber: dari mana-mana

Saint Lucia Racer, Spesies Ular Terlangka di Dunia

Saint Lucia racer pernah ditetapkan sebagai spesies hewan yang telah punah pada tahun 1936 lalu.


     Konservasionis berhasil menemukan spesies ular terlangka di dunia. Ular tersebut, Saint Lucia racer (Leimadophis ornatus), tinggal di Saint Lucia, sebuah negara kecil di kawasan Karibia. Dari penelitian yang berlangsung selama lima bulan, diketahui bahwa ular kecil tak berbisa itu hanya tersisa 18 ekor saja.

   Sebelum ini, racer merupakan ular yang banyak ditemui di Saint Lucia. Namun, populasinya anjlok setelah mongoose (Herpestidae), spesies hewan karnivora didatangkan ke kawasan itu dari India di akhir abad ke 19. Setelah kehadiran predator tersebut, Saint Lucia racer hanya bisa ditemui di sebuah pulau kecil seluas 12 hektar yang tidak dihuni oleh mongoose.

     Saint Lucia racer pernah ditetapkan sebagai spesies hewan yang telah punah pada tahun 1936 lalu. Namun pada tahun 1973, seekor racer berhasil ditemukan di Maria Islands Nature Reserve.

     Sayangnya sejak itu, penampakan Saint Lucia racer sangat jarang. Hingga membuat para konservasionis menganggap bahwa ular tak berbahaya tersebut telah musnah selamanya.

     Para konservasionis tak putus asa. Di penghujung tahun 2011, sebuah tim dibentuk untuk menelusuri apakah spesies Saint Lucia racer masih bertahan atau tidak. Memanfaatkan kucuran dana dari Balcombe Trust, Disney Worldwide Conservation Fund dan US Fish & Wildlive Service, mereka mulai menyisir pulau kecil berbatu itu.

     Akhirnya, 11 ekor racer ditemukan. Mereka kemudian dipasangi microchip lalu dilepas. Setelah analisis data terhadap 11 ekor racer yang ditemukan, para peneliti berhasil mengetahui bahwa secara total ada 18 ekor Saint Lucia racer yang masih hidup. Meski menggunakan metode penghitungan lain, populasi hewan itu diperkirakan mendekati 100 ekor.

     Untuk itu, Saint Lucia racer meraih predikat hewan terlangka di dunia. Dengan kawasan sebesar 12 hektar, cakupan distribusi hewan ini juga merupakan yang terkecil untuk ukuran kawasan populasi ular manapun.

     “Kami telah berkomitmen untuk mempelajari spesies paling terancam punah ini selama 30 tahun terakhir,” kata Matthew Morton, Eastern Caribbean Programme Manager, Durrell Wildlife Conservation Trust, yang melakukan penelitian. “Kami gembira dapat mengonfirmasikan bahwa populasi racer masih ada, apalagi mengingat kita sempat nyaris kehilangan spesies ini selama-lamanya,” ucapnya.

     Sebelum ini, predikat ular terlangka di dunia dipegang oleh ular Antiguan racer. Di tahun 1995, spesies racer ini hanya tersisa 50 ekor saja. Namun, setelah upaya konservasi digelar oleh Antiguan Racer Conservation Project selama 17 tahun terakhir, racer tersebut kini telah mencapai 900 ekor.


     Keberhasilan penyelamatan spesies hewan tersebut didapat dengan cara membangun pemahaman dan rasa bangga pada warga setempat terhadap ular. Juga dengan mengusir mongoose pendatang serta tikus-tikus yang memangsanya.

     Strategi ini tengah dipelajari oleh tim konservasi Saint Lucia untuk menentukan apakah Saint Lucia racer bisa diselamatkan menggunakan pendekatan serupa. Tapi sampai saatnya tiba, populasi kecil yang hanya bisa ditemukan di pulau sempit itu tetap berada dalam ancaman kepunahan.

     “Kita punya empat spesies ular unik yang hanya ada di Saint Lucia,” kata Alwin Dornelly, Wildlife Officer, Saint Lucia Forestry Department. “Salah satunya sangat langka. Kami harus memastikan bahwa kita melakukan cara apapun untuk menyelamatkan spesies penting ini dari kepunahan,” ucapnya.

     Bisnu Tulsie, Direktur dari Saint Lucia National Trust menyatakan, pihaknya gembira mendengar konfirmasi atas keberadaan Saint Lucia racer. Akan diadakan juga kolaborasi dengan rekanan mereka untuk mengimplementasikan langkah-langkah peningkatan peluang selamatnya ular tersebut.

     “Puluhan bahkan ratusan hewan India Barat telah punah karena manusia secara ceroboh telah melepaskan spesies hewan berbahaya di berbagai belahan dunia lainnya, dan kita tidak bisa membiarkan Saint Lucia racer, ular tak berbahaya ini menjadi korban berikutnya,” kata Jenny Daltry, Senior Conservation Biologist dari Fauna & Flora International.

Quantitating the Corruption of Finance Leadership (Who May Overlap with Health Care Leadership)

The bad leadership in health care that we frequently discuss now appears to exist in a context of an increasingly corrupt society.  In particular, we have discussed how the leadership of major health care organizations, such as teaching hospitals, and the universities within which medical schools operate, now frequently interlocks with the leadership of finance.  The ongoing global financial problems have been blamed on bad leadership in finance.

A Survey of Finance Leaders

Now, a survey by a law firm that supports corporate whistleblowers offers some quantitation of the corruption within finance.  The press release for the survey is here, and a summary of results is here.  The survey respondents were 250 US based, and 250 UK based "senior individuals within the financial services industry."

Key results were:
- 24% of those surveyed believed that the rules may have to be broken in order to be successful.

- 25% of UK respondents believed financial services professionals may need to engage in unethical or illegal activity to get ahead; US respondents were only slightly less inclined to engage in wrongdoing at 22%.

- 12% of total respondents believed that it was likely that staff in their company have engaged in unethical or illegal activity in order to be successful.

Perhaps exhibiting ego bias, the senior professionals thought that there competitors were even worse:
39% of total respondents believed it was likely that their competitors have engaged in illegal or unethical activity in order to be successful.

A substantial number of respondents admitted that they would be willing to engage in illegal activity were the circumstances favorable:
16% of total respondents were at least fairly likely to engage in insider trading if they could get away with it. Perhaps more troubling, only 55% of all respondents could say definitively that they would not engage in insider trading if they could make $10 million with no risk of getting arrested.

An important fraction thought that the worked within organizations that encouraged unethical and illegal behavior:
- 30% of all financial services professionals reported feeling pressure to compromise ethical standards or violate the law as a result of their compensation or bonus plan.

- In assessing other pressures that may lead to unethical or illegal conduct, 23% of all respondents also reported feeling other pressures to compromise ethical standards or violate the law.

Note that due to social desirability bias, the survey likely understates these problems.

Comment

Also note that at least so far, this survey is not much less anechoic than much of the evidence of corruption in health care that we have discussed. Although it has been briefly noted in the financial blogs and press, like Reuters, BusinessWeek, and also in the New York Daily News and Los Angeles Times, no other main-stream media has commented yet.

One post on a Forbes blog by Peter Cohan made the weary observation:
Business corruption follows a well-worn path. The boss tells you to bend the rules, and knowing that ignoring that request will cost you your job, you do what you’re told. At the end of the year you get a big bonus and promotion.

Then a disgruntled customer or employee leaks the shady activity to the press or a regulator and your company pays a fine and gets a few weeks of bad headlines. Time passes and the cycle restarts.

He concluded in part:
The conditions that make business corruption pay off have not changed despite numerous scandals — recent ones include Enron, WorldCom, Madoff, and Lehman Brothers – all of which reflect the same conditions that prompted me to write Value Leadership a decade ago: Let executives write their own report cards, base bonuses on those numbers and you will get corruption every time.

The solution is as clear to me as it is impossible to implement. First, all corporate financial reporting must be conducted by highly paid government auditors –rather than by auditing firms that are paid by the companies they audit. Second, performance-linked bonuses must be set aside in escrow accounts for a decade until it’s clear whether the true benefits of business strategies exceed their costs.

As long as there is no limit to how much money companies can put into politicians’ pockets, this fix will never be implemented. That’s because money puts big business in control of politicians who — if they were responding to the interests of the majority of Americans — would eliminate the conditions that make the benefits of business corruption exceed its costs.

But business corruption pays for those who finance Washington campaigns so the soil in which it flourishes remains fertile.

The same is likely to be true of unethical practices by and corruption of health care leadership. After all, health care leaders now mainly come from business management backgrounds, and so have been trained in the same way as financial professionals, and exposed to the same culture that they have experienced. As we have noted, the leadership of health care and finance often overlap. For example, see ours posts on the finance influence on the board of Dartmouth College; the role of the former CEO of bankrupt Lehman Brothers on the board of New York-Presbyterian hospital; the role of finance leaders who derided the Occupy Wall Street as "imbeciles," among other things on the boards of miscellaneous health care organizations; the role of finance leaders on the board of Pfizer, etc, etc, etc.

True health care reform may require larger reform in the greater society.  In any case, we need to reform the culture of health care organizations so that leaders put patients' and the public's health first, and self-interest last.  Furthermore, health care organizations should not provide positive incentives merely for exceeding financial or volume benchmarks, and should provide strong negative incentives for unethical behavior.

Imposters & Spammers

From time to time here, the infamous Razwell will make an appearance with his usual all-caps rants citing Urgelt and Freidman and blasting Colpo, etc.  As such, I had to put that Razzy virus warning up a while ago, and it's active as of this post.

Please ignore this person here if comments get through from time to time.  He manages to behave in spurts -- as he has done over on Stephan's blog of late -- but this individual is best ignored.

I bring this up because in the past I'm also pretty sure that whoever Razzmatazz is was behind posting as "Evelyn" or even "carbsanity" using the Wordpress website carbsanity.  Sigh.  Buying up domains just to prevent this is beyond my means and desires, though I have secured carbsanity.com and intend in the near future to migrate things there in some way, shape or form.  Perhaps that is what got me on the spam list of so many bloggers to where my comments go into the intervapors.  

In any case, recently someone using the email address carbsanity at yahoo.com tried to post on a blog of a person with whom I have a cordial acquaintance.  I'll let he/she identify if they like, but he/she comments here from time to time and vice versa.  So I received in email a "I know this is not you" alert a little while back.  Oddest thing was that this "carbsanity" wasn't overly offensive but seemed to be trying to sow seeds of dispute/disdain between me and said blogger.  In the past this happened on Peter D's blog, and Galina (thanks!) set the record straight that it wasn't me.  

I ALWAYS post either with this blogger/Google ID or using my carbsane at gmail dot com address.  ALWAYS unless my post goes into the ether in which case I may identify and post a "test" with another email addy.  So if you see anything by an Evelyn that *sounds* like me or any version of carbsane/sanity, it's not me unless it's Evelyn aka CarbSane, and if you're a website/forum admin the registered email is carbsane at gmail dot com.  Period.  

Thanks for having my back peeps!

bayern munich jersey 2012

bayern munich  jersey 2012
bayern munich jersey

bayern munich jersey

bayern munich jersey

bayern munich jersey

vincent kompany manchester city

vincent kompany walpaper 2012

vincent kompany

vincent kompany

vincent kompany

edin dzeko manchester city

edin dzeko manchester city walpaper 2012


edin dzeko manchester city

edin dzeko manchester city

edin dzeko manchester city

edin dzeko manchester city

edin dzeko manchester city

edin dzeko manchester city

david silva 2012

daviv silva, manchester city

david silva, manchester city

david silva, manchester city

david silva, manchester city

david silva, manchester city


carlos tevez manchester city

carlos tevez walpaper 

carlos tevez, manchester city

carlos tevez, manchester city

carlos tevez, manchester city

carlos tevez, manchester city

carlos tevez, manchester city

Lightcestra, Permainan Laser Dalam Hutan Kota

Sebagai tujuan Helarfest 2012 yang ingin memaksimalkan ruang publik di Kota Bandung, Lighchestra diadakan di Babakan Siliwangi.



     Konser musik dan permainan laser dalam hutan kota Babakan Siliwangi (Baksil), Bandung menjadi acara pembuka Helarfest 2012. Berbagai seniman, musisi, dan komunitas kreatif mengisi acara yang disebut dengan Lightchestra pada Jumat (6/7) lalu.

    Bandung Creative City Forum (BCCF) yang menjadi penyelenggara kegiatan ini, ingin mengaktifkan ruang publik di Kota Bandung dalam Helarfest 2012, salah satunya adalah Baksil. "Baksil merupakan ruang yang selalu penuh dengan kontroversi dari sisi komersial wisata. Lightchestra ini pendekatannya bukan dari sisi lingkungan, tapi dari sisi penggunaannya dengan alternatif even," jelas Program Director BCCF, Fiki Satari.

    "Di hutan ini banyak ruang publik yang menganggur, jadi kita mencari cara bagaimana Baksil dapat lebih mudah mengakses dengan hutan kota," papar Ketua Helarfest 2012, Galih Sedayu, yang ditemui saat pembukaan. "Perkenalan ruang publik, khususnya kepada anak-anak muda, juga menjadi salah satu tujuan," tambahnya.

     Dalam Lightchestra, selain penampilan musik dari beberapa musisi, pelepasan tupai diforestwalk dan pembacaan cerita meramaikan acara tersebut. Lightchestra adalah acara pembuka bagi Helarfest 2012 yang akan diadakan hingga bulan Oktober mendatang.

     Selain Lightchestra, akan ada festival kuliner bertajuk "Pruung Out di Bulan Agustus." Dilanjutkan dengan "Kampoong Festival" yang mengedepankan potensi kampung kreatif di Bandung. Cikapundung River Front Festival akan diadakan sebagai penutup pada 26-28 Oktober 2012.





wordless wednesday......ok, maybe not wordless b/c i love that stripe chair and that table instead of an island and those pleated shades as pendants :)

*images found here
 

ZOOM UNIK::UNIK DAN UNIK Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger