Warung Bebas

Kamis, 18 September 2008

A New Toy

I bought a new toy the other day: a blood glucose meter. I was curious about my post-meal blood glucose after my HbA1c reading came back higher than I was expecting. A blood glucose meter is the only way to know what your blood sugar is doing in your normal setting.

"Glucose intolerance" is the inability to effectively control blood glucose as it enters the bloodstream from the digestive system. It results in elevated blood sugar after eating carbohydrate, which is not a good thing. In someone with normal glucose tolerance, insulin is secreted in sufficient amounts, and the tissues are sufficiently sensitive to it, that blood glucose is kept within a fairly tight range of concentrations.

Glucose tolerance is typically the first thing to deteriorate in the process leading to type II diabetes. By the time fasting glucose is elevated, glucose intolerance is usually well established. Jenny Ruhl talks about this in her wonderful book Blood Sugar 101. Unfortunately, fasting glucose is the most commonly administered glucose test. That's because the more telling one, the oral glucose tolerance test (OGTT), is more involved and more expensive.

An OGTT involves drinking a concentrated solution of glucose and monitoring blood glucose at one and two hours. Values of >140 mg/dL at one hour and >120 mg/dL at two hours are considered "normal". If you have access to a blood glucose meter, you can give yourself a makeshift OGTT. You eat 60-70 grams of quickly-digesting carbohydrate with no fat to slow down absorption and monitor your glucose.

I gave myself an OGTT tonight. I ate a medium-sized boiled potato and a large slice of white bread, totaling about 60g of carbohydrate. Potatoes and bread digest very quickly, resulting in a blood glucose spike similar to drinking concentrated glucose! You can see that in the graph below. I ate at time zero. By 15 minutes, my blood glucose had reached its peak at 106 mg/dL.


My numbers were 97 mg/dL at one hour, and 80 mg/dL at two hours; far below the cutoff for impaired glucose tolerance. I completely cleared the glucose by an hour and 45 minutes. My maximum value was 106 mg/dL, also quite good. That's despite the fact that I used more carbohydrate for the OGTT than I would typically eat in a sitting. I hope you like the graph; I had to prick my fingers 10 times to make it! I thought it would look good with a lot of data points.


I'm going to have fun with this glucose meter. I've already gotten some valuable information. For example, just as I suspected, fast-digesting carbohydrate is not a problem for someone with a well-functioning pancreas and insulin-sensitive tissues. This is consistent with what we see in the Kitavans, who eat a high-carbohydrate, high glycemic load diet, yet are extremely healthy. Of course, for someone with impaired glucose tolerance (very common in industrial societies), fast-digesting carbohydrates could be the kiss of death. The big question is, what causes the pancreas to deteriorate and the tissues to become insulin resistant? Considering certain non-industrial societies were eating plenty of carbohydrate with no problems, it must be something about the modern lifestyle: industrially processed grains (particularly wheat), industrial vegetable oils, refined sugar, lack of fat-soluble vitamins, toxic pollutants and inactivity come to mind. One could make a case for any of those factors contributing to the problem.

Kamis, 21 Agustus 2008 | 17:23 WIB
PARA penderita HIV/AIDS kini mendapat sebuah harapan baru dalam meningkatkan kesembuhan. Berdasarkan hasil temuan awal dari Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, peluang penderita HIV/AIDS untuk sembuh semakin meningkat dengan mengombinasikan pengobatan antiretroviral dengan terapi adjuvant menggunakan ektrak meniran atau phylanthus.

Seperti diungkap DR.Drs.Suprapto Ma'at, Apt, MS, di Jakarta, Kamis (21/8), ektrak meniran berpotensi meningkatkan harapan kesembuhan para penderita HIV/AIDS karena terbukti dapat meningkatkan kadar salah satu jenis sel pertahanan tubuh Limfosit T - terutama sel T helper (sel Th).

"Ekstrak meniran untuk penderita HIV AIDS bersifat sebagai adjuvant, terutama untuk meningkatkan T-helpernya. Saya akan rencanakan untuk menelitinya lebih lanjut dan sangat yakin hasilnya akan baik," ungkap DR. Suprapto dalam diskusi Kolaborasi Jangka Panjang Penelitian dan Industri Farmasi yang digagas PT. Dexa-Medica .

Ektrak menir, jelas Suprapto, pada prinsipnya dapat digunakan sebagai terapi adjuvant pada pengobatan infeksi yang membandel seperti infeksi virus, infeksi jamur, infeksi bakteri, intraseluler dan penyakit infeksi kronis lainnya.

"Adjuvant artinya membantu dalam menanggulangi suatu infeksi. Selain diberikan obat standar, ditambah dengan stimulan. Dengan terapi adjuvant, proses penyembuhan penyakit bisa lebih cepat dan yang lebih penting adalah menghilangkan proses kekambuhan," papar peneliti yang baru mendapat penghargaan BJ Habibie Technology Award 2008 atas riset aplikatifnya tentang tanaman Meniran untuk Stimuno itu.

Kasus unik
Keyakinan DR.Suprapto akan prospek cerah esktrak meniran bagi pengobatan AIDS makin bulat setelah ia menemukan kasus peningkatan sel Th secara signifikan pada seorang pasien di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya belum lama ini.

"Beberapa bulan lalu, ada seorang pasien asal Denpasar yang juga anak seorang dokter kandungan. Sakit yang dialami pasien ini awalnya belum diketahui penyebabnya, namun tiga bulan terakhir suhu tubuhnya tak pernah di bawah 39 derajat celcius," ungkapnya.

Pasien ini, lanjut DR Suprapto, sempat dicurigai menderita enfeksi malaria dan TBC, tetapi upaya pengobatan tak kunjung membuahan hasil. Tim dokter yang terdiri dari beberapa ahli akhirnya menyimpulkan bahwa pasien ini mengalami masalah kekebalan tubuh, sehingga harus diperiksa kadar limfositnya - terutama sel Th (T-helper atau CD4+).

Sel Th ini berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik) yang semuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.

Hasil pemeriksaan T-helper ternyata menunjukkan bahwa kadarnya sangat rendah yakni 52, yang bisa dikategorikan pasien sudah mengidap AIDS stadium lanjut. Dokter lalu memberikan ekstrak manira dengan penambahan dosis secara bertahap setiap bulan dan ternyata jumlah sel Th terus meningkat sebelum akhirnya kembali normal memasuki bulan ketiga.

"Dengan kasus ini, ada rencana untuk melakukan penelitian penggunaan ekstrak meniran di antara pasien HIV/AIDS, terutama AIDS," ujarnya

DR Suprapto juga telah meminta kepada RSUD Dr Soetomo untuk membantu pasien HIV/AIDS tidak mampu dengan memberikan ekstrak filantus sebagai terapi adjuvant bersama obat atretroviral.
"Saya yakin ekstrak menir nanti akan dapat membantu, bukan mengobati, penyembuhan HIV/AIDS. Atau paling tidak memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang umur penderita," tegasnya.


Asep Candra

NB: SehatHerbal.Com menyediakan ektrak Meniran 100%, harga 75rb/50 kapsul. Pemesanan 021-91752768 - cartis.
 

ZOOM UNIK::UNIK DAN UNIK Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger