Warung Bebas

Senin, 08 Juli 2013

Daily Blog #16: Milestones 8 and 9 detailed

Howdy Reader,
                       It's day one of the SANS DFIR Summit here in Austin, Texas. Matthew and I are speaking this morning and I'm hoping the technical crowd here is awake enough at 9am to give us all the questions they have! Today we continue the milestone series which I hope to finish up this week before we move next week to new topics. We will be detailing milestones 9 and 10 which is pretty far along your progression as we near the end of the milestones I've documented so far. If you can think of others please let me know.

Milestone 9 - You master more than one operating system's artifacts.
   
    This milestone may sound simple and you may think it should have been listed much earlier in the order. I can appreciate this view point as you are thinking knowledge of an artifact equates to mastery which in my opinion it does not. Mastery in the context of this milestone reflects have all of the knowledge mentioned in the prior milestones ingrained in your memory for a second operating systems. You feel at home with your suite, tools, artifacts and native tools in both platforms allowing you to quickly triage a wider range of systems and scenarios.

    Your need to achieve this milestone will depend on your operating environment. If you work in a company that has a standard ecosystem that is strictly enforced this may not come about for quite some time. If however your company starts brining in a second operating system to the environment, or has legacy operating systems in the environment, you will need to work towards this milestone in order to handle the incidents that will arise. In my lab we handle work from a wide variety of companies and individuals as we provide our services to the public. Our need to keep up with multiple operating systems and their artifacts changes as computing trends change and we are always trying to keep up.

    Achieving this milestone is an important mark in your career, allowing you to start seeing similarities between operating systems, their fundamentals, artifacts created, and data stored. Once you begin seeing artifacts as human created software design decisions you can use that view point to find similar artifacts in other operating systems. Understanding at this level also allows you to better predict outcomes and actions recorded for your recreation testing.

Milestone 10 - You understand how file systems store data and can run tests to determine behavior.
   
    This was an important moment in my career. I was confident in my understanding of artifacts, I could recreate scenarios and I could explain in layman's terms why artifacts were created in the first place. What I could not fully explain until that point was how and why the underlying file system stored and accessed data and metadata. This milestone is not just about file system data structures; you can read Brian Carrier's excellent book to get your mind filled with those. This milestone is about a deeper understanding of what user activities effect the file system in different ways, leaving different files in different states depending on the actions they took.

    A great example of this milestone is the matrix of timestamps that Rob Lee shows in FOR 508 and can be seen below:

    No one individual artifact created the above conditions seen above, rather its the interaction between the operating system, the application and the file system that lead to these resulting states. Since these resting states are static and reproducible they become powerful tools for your analysis in understanding more of what the file system reveals to you regarding a users activities. You can extend this concept to none file system generic activities such as how certain applications create files, and how the file system stores them. A great example of this is Outlook's handling of attachments. When a user opens an attachment within Outlook it will extract the data to a temporary directory (the location will vary on the version of windows/office) and then reset the $STDINFO to the date of the email.

    Understanding how the file system stores this data and the fact that other timestamps exist then let you do two things:
  1. Match the $STDINFO time to the email the attachment came from in case the same attachment name exists in two emails.
  2. Use the $FILENAME time to determine when the attachment was viewed.
    There is more to this and I plan to write up a post in the near future dealing the interactions Outlook has with the file system and the facts it reveals, but this is a good summation of it to illustrate the importance of this milestone. The more you understand how the file system and it's metadata is set and what is normal the faster you can expand your investigation beyond the artifact and develop a broader picture of a users activities!

We will continue the milestone series tomorrow, if you are at the SANS DFIR Summit please come say hi!

Kata bijak motivasi : Allah tak akan menyianyiakan orang-orang yang mau berusaha

Kata bijak motivasi:

Orang yang mau berusaha
Kata kata indah bergambar dan kata bijak : Allah tidak akan menyianyiakan orang-orang yang masu berusaha
Kata kata indah bergambar dan kata mutiara kehidupan : Allah tidak akan menyianyiakan orang-orang yang mau berusaha
Gambar Motivasi, Kata Mutiara kehidupan,











Kata kata indah bergambar : Usaha dan Doa 

Jurnal Ilmiah Kesehatan

Jurnal Ilmiah Kesehatan - Indonesia, negara tanah air kita adalah negara yang sedang berkembang, baik dari sisi pembangunan ataaupun dari sigi
kependudukannya. Masyarakat Indonesia jumlahnya tebilang cukup besar dan kebnayakan masih minim akan informasi tentang kesehatan. Informasi Kesehatan sangatlah perlu untuk diketahui agar menjadikan masyarakat lebih pandai dalam menjaga kesehatannya. Dan

Jurnal Kesehatan Reproduksi

Jurnal Kesehatan Reproduksi ialah suatu kondisi sejahtera secara fisik, mental serta sosial yang utuh,
tak hanya sebatas bebas dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya.




Kesehatan
reproduksi meliputi kondisi
kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh di dalam semua hal yang berkaitan
dengan sistem, fungsi serta proses

PANCASILA - Pengertian, Sejarah, Rumusan Teks, Ideologi

Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit dimana nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila sudah diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan maupun kenegaraan meskipun sila-silanya belum dirumuskan secara konkrit. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit sebagaimana tertulis dalam buku NegaraKertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, istilah Pancasila mempunyai arti berbatu sendi yang lima, pelaksanaan kesusilaan yang lima. Istilah Pancasila sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Panca berarti lima dan Sila berarti dasar atau asas.

Sesuai fakta sejarah, Pancasila tidak terlahir dengan seketika pada tahun 1945, tetapi membutuhkan proses penemuan yang lama, dengan dilandasi oleh perjuangan bangsa dan berasal dari gagasan dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Proses konseptualisasi yang panjang ini ditandai dengan berdirinya organisasi pergerakan kebangkitan nasional, partai politik, dan sumpah pemuda.
Dalam usaha merumuskan dasar negara(Pancasila), muncul usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia antara lain:

  • Muhammad Yamin, pada pada tanggal 29 Mei 1945 berpidato mengemukakan usulannya tentang lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia berpendapat bahwa ke-5 sila yang diutarakan tersebut berasal dari sejarah, agama, peradaban, dan hidup ketatanegaraan yang tumbuh dan berkembang sejak lama di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.
  • Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan PancaSila sebagai dasar negara dalam pidato spontannya yang selanjutnya dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Ir. Sukarno merumuskan dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, KeTuhanan yang maha esa
Dari banyak usulan-usulan yang mengemuka, Ir. Soekarno berhasil mensintesiskan dasar falsafah dari banyak gagasan dan pendapat yang disebut Pancasila pada 1 Juni 1945. Rumusan dasar Negara ini kemudian didadar kembali oleh panitia yang dibentuk BPUPKI(Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dimasukkan ke Piagam Jakarta. Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila secara sah menjadi dasar Negara yang mengikat.
Sebelum disahkan, terdapat bagian yang di ubah” Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Rumusan butir-butir Pancasila yang pernah digagas, baik yang disampaikan dalam pidato Ir. Soekarno ataupun rumusan Panitia Sembilan yang termuat dalam Piagam Jakarta adalah sejarah dalam proses penyusunan dasar negara. Rumusan tersebut semuanya otentik sampai akhirnya disepakati rumusan sebagaimana terdapat pada alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Berdasarkan sejarah, ada tiga rumusan dasar negara yang dinamakan Pancasila, yaitu rumusan konsep Ir. Soekarno yang dibacakan pada pidato tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, rumusan oleh Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dan rumusan pada Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

Dengan demikian, rangkaian dokumen sejarah yang bermula dari 1 Juni 1945, 22 Juni 1945, hingga teks final 18 Agustus 1945 itu, dapat dimaknai sebagai satu kesatuan dalam proses kelahiran falsafah negara Pancasila.

Arti dan Makna Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara
Burung Garuda merupakan lambang negara Indonesia sejak negara ini berdiri. Akan tetapi tidak semua orang tahu tentang arti dan makna garuda pancasila sebagai lambang negara. Sebagai bangsa Indonesia paling tidak kita tahu dan mengerti arti lambang negara kita sediri sebagai sikap penghargaan terhadap perjuangan para pendiri bangsa dan kelak dapat menceritakan kepada anak cucu kita sebagai generasi penerus bangsa.

  • Burung Garuda Pancasila dalam cerita kuno tentang para dewa adalah kendaraan Dewa Vishnu yang besar dan kuat.
  • Warna Burung Garuda adalah kuning emas yang menggambarkan sifat agung dan jaya.
  • Garuda adalah seekor burung gagah dengan paruh, sayap, ekor, dan cakar yang menggambarkan kekuatan dan tenaga pembangunan
  • Jumlah bulu burung garuda pancasila memiliki melambangkan hari kemerdekaan Indonesia , 17 Agustus 1945
    • Bulu masing-masing sayah berjumlah 17 helai
    • Bulu Ekor berjumlah 8 helai
    • Bulu Leher berjumlah 45 helai
  • gambar pancasila
Di bagian dada burung garuda terdapat perisai yang dalam kebudayaan serta peradaban bangsa Indonesia merupakan senjata untuk berjuang, bertahan, dan berlindung untuk meraih tujuan. Perisai Garuda bergambar lima simbol yang memiliki arti masing-masing:

  • Bintang, sila ke-1 Pancasila, melambangkan Ketuhanan yang Maha Esa
  • Rantai Baja, sila ke-2, melambangkan Kemanusiaan yang adil dan beradab
  • Pohon beringin, sila ke-3, melambangkan Persatuan Indonesia
  • Kepala banteng, sila ke-4, melambangkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan
  • Padi dan kapas, sila ke-5, melambangkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia



Garis hitam tebal di tengah perisai melambangkan garis katulistiwa yang melukiskan lokasi Indonesia berada di garis katulistiwa

Warna dasar perisai adalah merah putih seperti warna bendera Indonesia


Itulah arti dan makna garuda pancasila sebagai lambang negara Indonesia. Sebagai generasi penerus yang baik, kita harus tetap memperjuangka kemerdekaan dengan mengisi kemerdekaan Indonesia dan memperjuangkan cita-cita luhur pendiri bangsa.





Filsafat Pancasila
Sebagai suatu paham filosofis, pemahaman terhadap Pancasila pada hakekatnya dapat dikembalikan kepada dua pengertian pokok, yaitu pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup dan sebagai Dasar Negara.
Secara etimologis kata ”filsafat“ berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang berarti “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berasal dari kata“philos” (pilia, cinta) & “sophia” (kearifan). Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti juga cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga bermakna “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat dapat juga bermakna cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos. Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai pengetahuan bijaksana, karena itu yang mencarinya adalah oreang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filosof dari dahulu sampai sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu, filosof mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya (merenung). Hasil filsafat (berpikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.

Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia yang berasal dari ajaran budha dalam kitab tripitaka dua kata: panca yang berarti lima dan syila yang berarti dasar. Jadi secara leksikal Pancasia bermakna lima aturan tingkah laku yang penting.
Pengertian Pancasila menurut Ir.Soekarno, Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan barat. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya falsafah bangsa tetapi lebih luas lagi yakni falsafah bangsa Indonesia.


Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan Notonagoro (Ruyadi, 2003:16) menyatakan, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis tersendiri, yang membedakannya dengan sistem filsafat lain.

Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila-sila PancasilaNotonagoro (Ganeswara, 2007:7) menyatakan bahwa hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, sebab manusia merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila. Selanjutnya hakekat manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup baik sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.
Secara lebih lanjut hal ini bisa dijelaskan, bahwa yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial adalah manusia.
Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Menurut Titus (Kaelan, 2007:15) terdapat tiga persoalan mendasar dalam epistemologi yaitu :
(1) tentang sumber pengetahuan manusia;
(2) tentang teori kebenaran pengetahuan manusia ;dan
(3) tentang watak pengetahuan manusia.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan secara bersama-sama oleh “The Founding Fathers” kita. Jadi bangsa Indonesia merupakan Kausa Materialis-nya Pancasila.
Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-silanya. Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkhis piramidal.
Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan.

Filsafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Pancasila adalah suatu paham filsafat (philosophical way of thinking) oleh karena itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pengertian tersebut, Pancasila disebut juga sebagai way of life, weltanschaung, pegangan hidup, petunjuk hidup, dan sebagainya. Dalam hal ini Pancasila adalah sebagai petunjuk arah kegiatan di segala bidang kehidupan, sehingga seluruh tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari sila-sila Pancasila yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebagai pandangan hidup yang merupakan penjelmaan falsafah hidup bangsa, Pancasila dalam pelaksanaannya sehari-hari tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, normanorma sopan santun, serta norma-norma hukum yang berlaku.

Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Sebagai dasar negara, Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis konstitusional (menurut hukum ketatanegaraan), oleh karena itu setiap orang tidak boleh atau tidak bebas memberikan pengertian/penafsiran manurut pendapatnya sendiri. Pancasila dalam pengertian ini sering disebut pula sebagai dasar falsafah negara (philosofische grondslag) atau ideologi negara (staatsidee).
Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang BPUPKI telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.
Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber hukum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).
Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.
Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.

Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan tiap sila dari Pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila Pancasila itu adalah pencerminan dari bangsa kita.
Demikianlah, maka Pancasila yang kita gali dari bumi Indonsia sendiri merupakan :
a.Dasar negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita.
b.Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita serta memberi petunjuk dalam masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.
c. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
d. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
e.         Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.
Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa kita.
Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.
Akhirnya perlu juga ditegaskan, bahwa apabila dibicarakan mengenai Pancasila, maka yang kita maksud adalah Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawratan / perwakilan.
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang kita gunakan, sebab rumusan yang demikian itulah yang ditetapkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).


    Seperti yang telah ditunjukkan oleh Ketetapan MPR No. XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Dikatakan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-sila lainnya. Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang Pancasila.

    Ideologi Pancasila
    Secara etimologis, istilah Ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, pemikiran, dan kata “logos” yang berarti ilmu. Kata “oida” berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengetahui, melihat, bentuk. Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam berbagai bidang kehidupan.


    Idologi menurut Gunawan Setiardjo: Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.Pada dasarnya ideologi terbagi dua bagian, yaitu Ideologi Tertutup dan Ideologi Terbuka. Ideologi Tertutup merupakan suatu pemikiran tertutup. Sedangkan Ideologi Terbuka merupakan suatu sistem pemikiran terbuka. Ideologi Terbuka memiliki ciri khas yaitu nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat sendiri. Ideologi terbuka diciptakan oleh Negara melainkan digali dan ditemukan dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, Ideologi terbuka merupakan milik semua masyarakat dalam menemukan ‘dirinya’ dan ‘kepribadiannya’ dalam Ideologi tersebut.



    Pancasila sebagai suatu Ideologi tidak bersifat tertutup dan kaku, tetapi bersifat reformatif, dinamis dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa Ideologi pancasila besifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat.Keluwesan dan fleksibelitas serta keterbukaan yang dimiliki oleh ideologi Pancasila menjadikan Pancasila tidak ketinggalan zaman dalam tatanan sosial, namun sifatnya yang terbuka bukan berarti nilai-nilai dasar Pancasila dapat dirubah /diganti dengan nilai dasar yang lain. Sebab jika nialai dasar tersebut dirubah berarti meniadakan Pancasila bahkan membubarkan Negara RI. Yang dimaksud dengan ideologi Pancasila yang bersifat terbuka adalah nilai-nilai dasar dari Pancasila dapat dikembangkan sesuai dengan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman.

    Sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka maka secara struktural Pancasila memiliki tiga dimensi sebagai berikut:

    • Dimensi idealis. bahwa nilai-nilai dasar ideologis tersebut mengandung idealisme, bukan angan-angan yang memberi hambatan tentang masa depan yang lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya dalam praktek kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya
    • Dimensi Fleksibilitas. Bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan Merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya,tanpa menghilangkan hakikat (jati diri) yang terkandung dalam nilai dasar.
    • Dimensi realitas. adalah suatu Ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang hidup & berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi secara reel berakar dan hidup dalam masyarakat/bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.  Oleh karena itu, selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal dan normative, pancasila juga harus mampu dijabarkan dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan Negara. 


    Berdasarkan dimensi yang dimiliki oleh pancasila sebagai Ideologi terbuka, maka sifat Ideologi pancasila tidak bersifat “utopis”, yaitu hanya merupakan sistem ide-ide belaka yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. Pancasila juga bukan merupakan Ideologi “pragmatis” yang hanya menekankan segi praktisi belaka tanpa adanya aspek idealisme. Ideologi Pancasila yang bersifat terbuka hakikatnya nilai-nilai dasar yang bersifat unviversal dan tetap. Adapun penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis-reformatif yang senantiasa mampu melakukan perubahan sesuai dengan dinamika aspirasi masyarakat.



    Nilai-nilai Pancasila

    Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis. 
    Nilai dasar : nilai yang bersifat umum, abstrak, tidak terikat dengan tempat atau waktu, dengan kandungan kebenaran yang tinggi berupa cita-cita, tujuan dan tuntunan dasar kehidupan yang dicita-citakan. 
    Nilai dasar terdiri dari; 
    a. Nilai Ketuhanan 
    b. Nilai Keadilan 
    c. Nilai Kemanusiaan 
    d. Nilai Kerakyatan 
    e. Nilai Persatuan 


    Nilai instrumental; penjabaran dari nilai dasar yang merupakan arahan dalam kurun waktu dan kondisi tertentu,nilai instrumental bersifat kontekstual dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Nilai instrumental dapat ditemukan : 

    a. UUD 1945 
    b. Ketetapan MPR 
    c. Undang-undang 
    d. Pertaturan pemerintah 
    e. Peraturan perundangan lainnya. 


    Nilai praktis : interaksi antara nilai instrumental dengan situasi kongkrit pada tempat dan situasi tertentu, nilai ini sangat dinamis karena berusaha mewujudkan nilai instrumental dalam kenyataan. Nilai praktis dari pancasila dapat dilihat dan ditemukan pada berbagai wujud kongkrit pengamalan nilai-nilai pancasila oleh lembaga Negara, organisasi sosial politik, lembaga ekonomi, tokoh masyarakat, dan anggota warga Negara.


    Nilai-nilai Pancasila menurut Prof Dr. Notonegoro 
    1. Nilai material, yakni segala sesuatu yang berguna untuk unsur manusia.
    2. Nilai vital, yakni segala sesuatu yang berguna untuk manusia agar dapat melakukan aktivitas.
    3. Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi jiwa/rohani manusia. Nilai kerohanian dapat dibagi atas 4 macam yaitu,
      • Nilai kebenaran atau kenyataan yg bersumber dari unsur akal manusia
      • Nilai moral atau kebaikan yang berunsur dari kehendak atau kemauan
      • Nilai keindahan yang bersumber dari unsur rasa manusia
      • Niali religius, yakni nilai Ketuhanan, kerohanian yang tinggi & mutlak yang bersumber dari keyakinan atau kepercayaan manusia
    Manusia menjadikan nilai sebagai dasar, alasan, atau motivasi dalam setiap perbuatan dan tingkah laku. Dalam bidang pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dan diwujudkan dalam bentuk kaidah atau norma.




    Fungsi Pancasila

    Berdasarkan pengertian pokok Pancasila, maupun berdasarkan peranannya dalam tata kehidupan bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, maka Pancasila dalam bentuknya yang sekarang ini berfungsi sebagai:
    1. Dasar yang statis / fundamental, di mana di atasnya didirikan bangunan negara Indonesia yang kekal. Inilah fungsi pokok Pancasila, yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
    2. Tuntunan yang dinamis, yaitu ke arah mana / negara Indonesia akan digerakkan, atau dengan perkataan lain sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
    3. Ikatan yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia, di mana Pancasila menjamin hak hidup secara layak bagi semua warga negara dan semua golongan tanpa ada perbedaan.
    Di samping itu, apabila dilihat lingkup jangkauan sasarannya, fungsi-fungsi Pancasila dapat dibedakan sebagai berikut:
    1. Fungsi yuridis ketatanegaraan yang merupakan fungsi pokok atau fungs utama dari Pancasila sebagai Dasar Negara.
    2. Fungsi sosiologis, yaitu apabila dilihat sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya.
    3. Fungsi etis dan filosofis, yaitu apabila fungsinya sebagai pengatur tingkah laku pribadi, dalam hal ini Pancasila berfungsi sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system.

    Kedudukan Hukum Pancasila

    Dalam kaitan dengan fungsi pokoknya sebagai dasar Negara, Pancasila sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan hukum yang kuat. Dalam hubungannya dengan UUD 1945, Pancasila menjiwai pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945.Pembukaan UUD 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila yang merupakan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar, baik hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis (konvensi).
    Pembukaan UUD 1945 terdiri dan 4 alinea, yang memuat hal-hal sebagai berikut :
    1. Pernyataan hak kemerdekaan bagi setiap bangsa
    2. Pernyataan tentang hasil perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia
    3. Pernyataan merdeka
    4. Tentang dasar kerohanian (falsafah) Pancasila sebagai dasar negara.
    Tiga pernyataan pertama adalah mengenai keadaan-keadaan atau peristiwaperistiwa yang mendahului terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga pernyataan itu tidak mempunyai hubungan organis dengan pasal-pasal UUD 1945, namun pernyataan ke empat yaitu tentang dasar kerohanian (falsafah) Pancasila sebagai dasar negara mengandung pokok pikiran yang di dalamnya tersimpul ajaran Pancasila, sehingga dengan demikian mempunyai hubungan kausal dan organis dengan Pasal-pasal UUD 1945. Butir keempat tersebut sangat penting karena merupakan semangat kejiwaan dari UUD 1945, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Soepomo SH, bahwa untuk memahami hukum dasar suatu negara tidak cukup hanya memahami pasal-pasalnya saja, melainkan harus dipahami pula suasana kebatinan (semangat kejiwaan) dari hukum dasar itu.

    Pokok-pokok pikiran yang merupakan suasana kebatinan dari UUD 1945 tersebut terdiri dari:
    1. Pertama, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dengan berdasarkan persatuan (sila ketiga).
    2. Kedua, negara Indonesia mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima).
    3. Ketiga, negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan (sila keempat).
    4. Keempat, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kesatu dan kedua).

    Pokok-pokok pikiran itu yaitu Pancasila merupakan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis. Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan dalam pasal-pasal UUD 1945. Jadi pasal-pasal dalam UUD 1945 dijiwai oleh pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Pancasila. Menurut Prof. DR. Dardji Darmodihardjo SH dalam kaitannya dengan fungsi pokok atau fungsi utama Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai cita-cita dan pandangan hidup bangsa. Selanjutnya kedudukan hukum Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dipertegas kembali dengan Ketetapan MPR Nomor XVIII / MPR / 1998.

    Adapun materi yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII / MPR / 1998 adalah sebagai berikut:
    1. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor II / MPR / 1978 yang ditetapkan dalam masa Orde Baru.
    2. Menegaskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Alinea keempat UUD 1945 yang disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
    3. Selanjutnya kedudukan hukum Pancasila selain sebagai Dasar Negara juga sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.

    Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum Pancasila adalah sebagai berikut:
    1. Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dipertegas kembali dengan ketetapan MPR no XVIII / MPR / 1998
    2. Pancasila menjiwai Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945. Menurut Prof. R. Soepomo pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu sila-sila Pancasila merupakan suasana kebatinan atau semangat kejiwaan dari pasal-pasal UUD 1945.
    3. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara sebagaimana ditegaskan dalam UU no. 10 Tahun 2004. Hal ini berarti bahwa semua peraturan perundang-undangan di Indonesia harus dijiwai Pancasila atau harus mengacu pada Pancasila atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum Pancasila selain sebagai Dasar Negara, juga menjiwai Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, dan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.

    Sila Pertama
    Bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan tiap-tiap orang dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa Indonesia mengembangkan kerukunan hidup, kerja sama, tidak memaksakan kehendak dan saling menghormati kebebasan beribadah antara pemeluk agama dan kepercayaan karena agama dan kepercayaan adalah masalah antara individu dengan Tuhan YME.

    Sila Kedua

    Bangsa Indonesia mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban asasi manusia dan memperlakukan manusia sesuai harkat dan martabat sebagai insan Tuhan YME dan tanpa membeda-bedakanya berdasarkan SARA. Selain itu bangsa Indonesia mengembangkan sikap cinta sesama manusia, tenggang rasa dan teposliro, tidak semena-mena, menjunjung tinggi kemanusiaan, membela kebenaran dan keadilan, dan menghormati serta bekerja sama dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia harus merasa dirinya adalah bagian dari semua insan manusia.

    Sila Ketiga

    Bangsa indonesia bisa menempatkan persatuan dan kesatuan serta keselamatan dan kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi/golongan. Bersedia rela berkorban, cinta tanah air, menumbuhkan rasa bangga terhadap tanah air, memelihara ketertiban dunia, mengembangkan persatuan indonesia, dan memajukan hubungan demi persatuan serta kesatuan Indonesia.

    Sila Keempat

    Bangsa Indonesia memiliki kedudukan yang sama baik hak maupun kewajiban didalam bermasyarakat. Bangsa Indonesia tidak boleh memaksakan kehendak dan selalu mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan serta menghormati dan menjunjung tinggi serta memiliki iktikad baik juga tanggungjawab atas hasil kesepakatan dalam musyawarah. Dalam melaksanakan musyawarah, kepentingan umum harus diutamakan dan diambil dengan penuh tanggung jawab serta akal sehat.


    Sila Kelima

    Bangsa Indonesia mengembangkan perilaku luhur, yang menggambarkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan, sikap adil, seimbang antara hak dan kewajiban, menghormati orang lain, suka menolong., suka menghargai hasil karya orang lain, dan gemar ikut dalam kegiatan untuk memajukan masyarakat yang merata dan berkeadilan sosial. Bangsa Indonesia juga tidak boleh menggunakan hak sendiri untuk kepentingan pribadi dan merugikan kepentingan umum.

    Jurnal Kesehatan Lingkungan

    Jurnal Kesehatan Lingkungan - para ahli kesehatan telah membuat batasan
    kesehatan masyarakat ini. Secara kronologis batasan akan kesehatan
    masyarakat mulai dengan batasan yang begitu sempit hingga batasan yang
    luas seperti yang kita anut ketika ini bisa diringkas sebagai batasan paling tua, kesehatan
    masyarakat merupakan upaya untuk dalam mengatasi permasalahan sanitasi
    yang dapat mengganggu

    Another Attempt to Show the RUC Behind the Curtain

    In 2007, readers of the Annals of Internal Medicine could read part of the solution to a great medical mystery.(1)  For years, health care costs in the US had been levitating faster than inflation, without producing any noticeable positive effect on patients.  Many possible reasons were proposed, but as the problem continued to worsen, none were proven.

    Prices are High Because They are Fixed That Way

    The article in the Annals, however, proposed one conceptually simple answer.

    The prices of most physicians' services, at least most of those that involved procedures or operations for Medicare patients, were high because the US government set them that way. Although the notion that prices were high because they were fixed to be so high was simple, how the fixing was done, and how the fixing affected the rest of the health system was complex, mind numbingly complex.

    Perhaps because of the complexity of its implementation, the simplicity of the concept has not seemingly reached the consciousness of most American health care professionals or policy makers, despite the publication of several scholarly articles on the subject,.efforts by humble bloggers such as yours truly, a major journalistic expose, and recent congressional hearings.  The lack of discussion of this issue seemed to be a prime example of what we have called the anechoic effect, that important causes of health care dysfunction whose discussion would discomfit those who are currently personally profiting from the current system rarely produce many public echoes.  (For a review of what is known to date about how the offputtingly named Resource Based Relative Value Scale Update Committee (RUC) works, and previous attempts to makes it central role in fixing what US physicians are paid public, see the Appendix.)

    The Washington Monthly Pulls Back the Curtain

    Now another attempt to pull back the curtain that hides the RUC was just made by the Washington Monthly.  A long, detailed, well-written article by Haley Sweetland Edwards went through the major points, and included some new discoveries.  She asserted:

    The RUC is Well Hidden

    [The RUC is] probably one of the most powerful committees in America that you’ve never heard of.

    The RUC Fixes Prices

    when a roomful of professionals from the same trade meet behind closed doors to agree on how much their services should be worth. It’s called price-fixing. 

    The Government Enables the RUC to Fix Prices

     this kind of 'price-fixing' is not only perfectly legal, it’s sanctioned by the U.S. government. At the end of each of these meetings, RUC members vote anonymously on a list of 'recommended values,' which are then sent to the Centers for Medicare and Medicaid Services (CMS), the federal agency that runs those programs. For the last twenty-two years, the CMS has accepted about 90 percent of the RUC’s recommended values—essentially transferring the committee’s decisions directly into law.

    The Government Fixed Prices are Endorsed by the Private Sector

     private insurance companies also use Medicare’s fee schedule as a baseline for negotiating prices with hospitals and other providers. 

    The Price Fixing Drives Up Costs and the Use of Services

     So if the RUC inflates the base price Medicare pays for a specific procedure, that inflationary effect ripples up through the health care industry as a whole.

    These Incentives Cripple Primary Care

     These manipulated prices are also a major reason why specialists are in oversupply in many parts of the country, while a worsening shortage of primary care providers threatens the whole health care delivery system. 

    These Incentives Benefit Big Corporations, not just Medical Specialists

     the incentives are perfectly aligned: ordering that extra test means more money for a doctor’s practice or hospital, more money for the labs, and often more money for the device makers and drug companies, too. (Oh, and, by the way, the device makers and drug companies are, not incidentally, major funders of the medical specialty societies whose members vote on the RUC.)

    [Art by Monte Wolverton for the Washington Monthly article]

    What to Do and What Will Happen?

    We previously wrote,

     Economists have beaten us over the head with idea that incentives matter.  The RUC seems to embody a corporatist approach to fixing prices for medical services to create perverse incentives for physicians to do more procedures, and do less conversing with and examining patients, examining the best clinical research evidence about their problems, and rigorously thinking about how best to help them.  More procedures at higher prices helps physicians who do procedures.  It may help even more the corporations that provide the devices and drugs whose use is necessitated by such procedures, and the hospitals who can charge a lot of money as sites for performance of procedures.  It may even help insurance companies by driving ever more money through the health care system, and thus allow rationalization for higher administrative expenses as a function of overall money flow.

    Yet incentives favoring procedures over all else may lead to worse outcomes for patients, and more costs to patients and society.  If we do not figure out how to make incentives given to physicians more rational and fair, expect health care costs to continue to rise, while access and quality continue to suffer.

    Ms Edwards ended her article with two specific suggestions:

    take the process away from the control of the AMA and put it in the hands of a well-resourced group of experts under the auspices of the federal government. This might take the form of a panel of doctors employed by the government, or of an advisory committee of representatives of different medical societies but with greater representation of primary care doctors.

    Or

     get Medicare out of the business of funding fee-for-service medicine. 

    I can only hope that the latest Washington Monthly article, which was accompanied by an editorial and a short first-hand account of how difficult is the lot of the modern primary care physician, will succeed in increasing awareness of the RUC and its essential role in making the US health care system increasingly unworkable.  Of course, such awareness may disturb the many people who are making so much money within the current system.  But if we do nothing about the RUC, and about the ever expanding bubble of health care costs, that bubble will surely burst, and the results for patients' and the public's health will be devastating.

    APPENDIX - Background on the RUC

     We have frequently posted, first here in 2007, and more recently here,  here, here, and here, about the little-known group that controls how the US Medicare system pays physicians, the RBRVS Update Committee, or RUC.

    Since 1991, Medicare has set physicians' payments using the Resource Based Relative Value System (RBRVS), ostensibly based on a rational formula to tie physicians' pay to the time and effort they expend, and the resources they consume on particular patient care activities. Although the RBRVS was meant to level the payment playing field for cognitive services, including primary care vs procedures, over time it has had the opposite effect, as explained by Bodenheimer et al in a 1997 article in the Annals of Internal Medicine.(1) A system that pays a lot for procedures, but much less for diagnosing illnesses, forecasting prognoses, deciding on treatment, and understanding patients' values and preferences when procedures and devices are not involved, is likely to be very expensive, but not necessarily very good for patients.

     

    As we wrote before, to update the system, the Center for Medicare and Medicaid Services (CMS) relies almost exclusively on the advice of the RBRVS Update Committee. The RUC is a private committee of the AMA, touted as an "expert panel" that takes advantage of the organization's First Amendment rights to petition the government. Membership on the RUC is allotted to represent specialty societies, so that the vast majority of the members represent specialties that do procedures and focus on expensive, high-technology tests and treatments.
     

    However, the identities of RUC members were opaque for a long time, and the proceedings of the group are secret.  As Goodson(2) noted, RUC "meetings are closed to outside observers except by invitation of the chair." Furthermore, he stated, "proceedings are proprietary and therefore not publicly available for review."
     

    In fact, the fog surrounding the operations of the RUC seems to have affected many who write about it. We have posted (here, here, here, and here) about how previous publications about problems with incentives provided to physicians seemed to have avoided even mentioning the RUC. Up until 2010, after the US recent attempt at health care reform, the RUC seemed to remain the great unmentionable. Even the leading US medical journal seemed reluctant to even print its name.
     

    That changed in October, 2010.  A combined effort by the Wall Street Journal, the Center for Public Integrity, and Kaiser Health News yielded two major articles about the RUC, here in the WSJ (also with two more spin-off articles), and here from the Center for Public Integrity (also reprinted by Kaiser Health News.) The articles covered the main points about the RUC: its de facto control over how physicians are paid, its "secretive" nature (quoting the WSJ article), how it appears to favor procedures over cognitive physician services, etc.
     

    In 2011, after the "Replace the RUC" movement generated some more interest about this secretive group, and its complicated but obscure role in the health care system, the current RUC membership was finally revealed.  It was relatively easy for me to determine that many of the members had conflicts of interest (beyond their specialty or sub-specialty identity and their role in medical societies that might have institutional conflicts of interest, and leaders with conflicts of interest).  
     

    Then that year a lawsuit was filed by a number of primary care physicians that contended that the RUC was functioning illegally as a de facto US government advisory panel.  It appeared that things might change.  However, it was not to be.  A judge dismissed the lawsuit in 2012, based on his contention that the law that set up the RBRVS system prevented any challenges through the legal system to the mechanism used to set payment rates.  The ruling did not address the legality of the relationship between the RUC and the federal government.  The eery quiet then resumed, only punctuated briefly in early 2013, when a Senate committee held hearings with no obvious effect.      

    ADDENDUM (15 July, 2013) - see also comments by Dr Howard Brody on the Hooked: Ethics, Medicine and Pharma blog.  

    ADDENDUM (18 July, 2013) - see also comments by Yves Smith on the Naked Capitalism blog.

    References
    1. Bodenheimer T, Berenson RA, Rudolf P. The primary care-specialty income gap: why it matters. Ann Intern Med 2007; 146: 301-306. (Link here.)
    2. Goodson JD. Unintended consequences of Resource-Based Relative Value Scale reimbursement. JAMA 2007; 298(19):2308-2310. (Link here.)

    Daily Blog #15: 7/72013 Sunday Funday winner!

    Howdy Reader,
            I'm in Austin for the DFIR Summit, but the daily blogs must continue! Yesterday we had a particularly challenging Sunday Funday regarding detecting web server log tampering. We had a couple contenders and the winner this week is Jacob Williams! Here is Jacob's winning answer:

    Wow, I wish I had access to the server.  Text based log files are one of the few places where slack space analysis can be a benefit.  There's plenty of room to potentially find evidence of log tampering (especially if the tampered log is smaller than the original).  Over three years of web server logs, I'd hope to find SOMETHING in slack space if logs were manipulated.

    The first thing to check are time series within the logs.  By time series, I mean does every log entry come after the one before it.  This is one place that people totally screw up when modifying logs.  I actually have written scripts to check this in various formats and again, it's a place that inexperienced forgers get caught.

    Timestamps on the logs might also be useful, though less reliable depending on how you were provided the logs.  W3C formatted logs begin anew each day. Obviously you want to check for the timestamps to be consistent with the dates of the logs.  Again, depending on how you were provided the logs (FAT formatted thumb drive for instance), the file timestamps may not be usable.

    A piece of the case that isn't specified is whether the suspect has a static IP address.  Obviously we'll want to correlate log entries to that static IP if one exists.  If the user has a dynamic IP, check the range to make sure it is consistent with his ISP.  Three years is probably too far back to subpoena DHCP logs from the ISP, but get as much as you can.

    GoGo InFlight Internet service has sort of screwed up this next one, but I want to get the suspect's travel records to identify time periods when he couldn't have had access to the Internet to make the illicit logins.  Times when a suspect is in the air, etc. are great.  Is the suspect a public speaker? Check the logs for times when he was speaking.  I like to think I'm talented, but I have a hard time hacking websites and teaching SANS FOR610 at the same time (even if I do know the material like the back of my hand).  Find as many instances of these time issues as possible.  It might be conceivable that the suspect violated the laws of time and space once, but thirty times? Fifty times? Come on, this isn't an episode of Fringe.  Of course the attacker could have been creative with his Internet access or set an automated timed attack, but let the plaintiff prove this.  Just as in the possibility of tampering with forensic data, the simple possibility of isn't sufficient to say it happened.

    One of the more technical approach I'd take would be analysis of actual usage patterns.  Are the suspect's usage patterns (i.e. pages accessed) consistent with what the plaintiff is alleging?  Does the defendant magically skip the login screen and go directly to authenticated access when everyone else must login through login.aspx?  Stuff like this can be an indicator that the logs have been tampered with.

    Some of the rest depends on the style of the web application and the verbosity of logging.  If the logs contain some sort of session ID (in the URL perhaps) we should analyze how this session ID is generated.  If it is completely random, do the logs ever show our suspect using the same ID?  If so, the odds of hitting the same random session id are nil to none.  Go buy a lottery ticket.  Another thing we often see are time based session IDs where the IDs increase over time.  Again, make sure that the IDs are increasing over time for the user's login.  If the web application places a time stamp in the URL to prevent replay attacks, make sure that the URL timestamps are consistent with the log timestamps.  Also check that they are increasing.

    We also want to check the user agents being recorded. Is your suspect a total techno-tard but his user agent indicates Linux?  Mac user agent, but the user doesn't own a Mac?  Look for accepted languages in the HTTP requests.  If the user is in America and doesn't speak Chinese, then the accepted language in the HTTP headers probably won't be Chinese.

    Anomalies in the logs are also something to check for.  Did the suspect's log entries happen at a particular time?  One of the ways people screw up forging logs is to change a legitimate log entry to cover up illicit activity.  In this case, check other user's patterns of behavior.  Does user X always log in between 0900 and 1100, but fails to on days when our suspect logs in at the same time (and coincidentally performs the same actions)?

    One of the final things I'd check would be whether the web application logs both a text based userID and a numeric user ID.  We want to make sure that these are always consistent with one another and never reused in the logs.

    As a side note, I'd also want to subpoena the web server configuration and web application to audit the code.  If this is a high profile case, it's worth performing tests on the web application to ensure that the expected logging matches the actual logging.
    To extend my answer a little, I'd like to add to check the Cookie and Referrer fields in the W3C formatted logs (if those attributes are being logged).

    Either attribute could highlight an anomaly in forged records.  For instance, cookie values could point to session IDs inconsistent with those in the GET request (or assigned simultaneously to another user).

    Referrer fields are another issue entirely.  Web applications usually have a fairly static content flow.  If the referred fields for our suspected forged records are inconsistent with those of legitimate users, we may have found the smoking gun.  This again underscores the need to subpoena the web application for testing.  If the plaintiff claims the logs are damning "because that's how the custom web app works" we should have cause to examine the web application to determine logging fringe cases/inconsistencies.

        This was a great answer! Jake certainly showed a mastery of web log analysis in his response and I hope you will get some good pointers here for your own log analysis.

        This Sunday Funday was based on a real case, ILS v Partsbase, that I worked on for three years back in 2003-2006. The case went to a jury trail where we were able to successfully show that 3 years of web logs were altered to make it appear as though our client had made 1.6 million unauthorized accesses over 3 years.

        The case came together in a series of steps that Jacob highlighted in his answer but that I want to highlight and explain.
    1. Compare session states, in my case I was lucky and the developer decided to store the cookies assigned in the web logs and they contain an environmental variable for the users IP address. In my case the IP stored in the cookie never matched the IP recorded in the log. 
    2. Review the the user agents, Using the user agents we were able to pull out 1,100 different devices suddenly associated with my clients outgoing IP address. 
    3. Review the user agents for browser customization. This was the most critical aspect in getting the jury to understand what occurred. There was a public and a private web site with two different sets of logs. If you have a standard image rolled out to your systems you may see a message on the browser bar (IE specifically) that says something like 'Provided by HECFBlog'. This information is passed on in the UserAgent.
    4. Put all your logs into a database for better analysis and cross queries. With distinct customized browser user agents located , for example 'University of Some State' I was able to reconstruct sessions between the two logs and show that when a visit to the public side was made it contained an IP address belonging to the University but when an image request was made to the private side my clients IP address would suddenly appear in the logs as the requester.
        We still don't know who modified the logs and due to protective orders I can't reveal what all we discovered. However using the type of analysis Jacob described and the facts I identified above, combined with some great simple animated PowerPoint slides we were able to clearly demonstrate to the jury why any reasonable person could see the logs were manipulated.

    The milestone series resumes tomorrow!

    MENIKMATI KEUNIKAN DANAU-DANAU TERBESAR DI DUNIA

    Mendengar kata danau, pastilah yang terlintas di pikiran kita adalah genangan air tawar yang luas, panorama perbukitan indah dibalut dengan hutan hijau yang lebat, serta udara segar yang sejuk dan bebas polusi.

    Suasana di atas adalah sedikit gambaran mengenai suasana danau dan keindahan yang melekat padanya, yang biasa kita temui pada objek wisata danau yang ada di Indonesia. Namun tahukah anda, beberapa danau di dunia tak hanya indah, namun juga unik. Keunikan yang paling kentara adalah luas danau-danau tersebut melebihi danau lain umumnya, danau-danau ini tercatat sebagai danau terbesar di dunia, sehingga satu buah danau bisa dimiliki oleh lebih dari dua Negara.

    Berikut ini akan disajikan enam danau terbesar di dunia, lengkap dengan letak dan keunikan masing-masing danau tersebut.

    1. Laut Kaspia ( Danau Laut Kaspia)



    Danau laut Kaspia adalah danau terbesar di dunia yang terletak antara perbatasan benua Asia dan Eropa. Danau ini sesungguhnya adalah laut yang terkurung oleh daratan, hal ini menyebabkan danau Kaspia memiliki air yang asin. Danau laut Kaspia mendiami lima Negara. Mulai dari Azerbaijan, Rusia, Kazakhstan, Turkmenistan, hingga sebagian provinsi di Negara Iran. Danau laut Kaspia mempunyai luas 394.299k km2 dan kedalaman 946 m2, danau ini memang begitu luas sehingga para penduduk menyebut sebagai laut, jika anda mengunjungi danau ini, anda akan dimanjakan oleh pesona alam mediterania yang eksotik.

    2. Superior



    Danau Superior merupakan danau terbesar kedua di dunia, namun merupakan danau air tawar dengan permukaan terluas nomor satu di dunia. Danau ini berada di Negara Amerika Serikat dan Kanada. Danau ini memiliki luas 82.414 km2 dan kedalaman hingga 406 m2. Danau ini memiliki pemandangan yang sangat indah, selain piknik keluarga, danau ini juga di gunakan wisatawan lokal untuk aktivitas memancing dan wisata alam air lainnya.

    3. Victoria



    Danau Victoria merupakan sebuah danau air tawar yang membentang di benua Afrika, mulai dari Negara Tanzania hingga Uganda. Danau dengan luas 96.485 km2 dan kedalaman maksimum 82 m2 ini adalah danau terbesar di Afrika serta danau tropis terbesar di dunia. Yang istimewa, danau ini merupakan muara dari salah satu cabang sungai Nil, selain itu di tengah danau ini bertebaran pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Hal ini dapat menjadi daya tarik bagi anda yang tidak hanya gemar wisata air, tapi juga berpetualang menelusuri pulau-pulau tersebut.

    4. Huron



    Danau Huron adalah danau terbesar di dunia selanjutnya. Danau ini mendiami Benua Amerika dan dimiliki bersama oleh Negara Amerika Serikat dan Kanada. Danau air tawar ini memiliki luas permukaan 59.596 km2, sedangkan memiliki kedalaman 229 m2. Sebagaimana danau lain yang berfungsi sebagai jalur transportasi air, danau Huron juga merupakan objek wisata yang sangat populer dan diberdayakan dengan sangat baik, terutama oleh pemerintah Kanada. Di Kanada danau Huron merupakan objek wisata alam liar yang diminati. Di Negara itu, danau Huron terkenal dengan turnip stone atau batu besar di pesisir danau yang menyerupai lobak.

    5. Michigan



    Danau Michigan adalah salah satu dari lima danau terbesar di Amerika Serikat. Danau ini begitu terkenal karena membatasi empat dari Negara bagian di Amerika. Luas danau ini mencapai 58.016 km2 sedangkan kedalamannya hingga 281 m2. Jika anda mengunjungi kota Chicago, mungkin anda akan berminat menikmati hamparan luas danau ini, karena Chicago merupakan kota terbesar yang berbatasan dengan danau Michigan.

    6. Aral



    Di urutan ke-enam adalah danau Aral. Danau ini terletak antara Kazakhstan bagian utara dan Uzbekistan bagian selatan. Luas danau ini terus menyusut semenjak 1960-an dari 66.456 km2 menjadi hanya 59.596 km2. Hal ini menyebabkan posisi danau Aral sebagai danau terbesar ke empat di dunia juga menurun hingga hanya berada di posisi enam. Berbicara mengenai Danau Aral berarti membicarakan kelamnya masa lalu di bawah pimpinan penguasa diktator. Buah dari penerapan teknologi yang membabi-buta pada masa Uni Soviet telah mengakibatkan pencemaran lingkungan, rusaknya ekosistem dan penyakit-penyakit yang diderita penduduk sekitar danau yang diperkirakan bersumber dari pencemaran tanah dan air sekitar danau.

    Demikianlah urutan enam danau terbesar di dunia, selain luas dan dalam, masing-masing danau memiliki keunikan dan kisah masing-masing. Selain keenam danau di atas tentu masih banyak objek wisata danau yang dapat dijadikan tujuan wisata, yang mana telah pula dianugerahi pemandangan alam dan keunikan yang tak kalah memukau.

    Oleh : Tika Dwi
     

    ZOOM UNIK::UNIK DAN UNIK Copyright © 2012 Fast Loading -- Powered by Blogger