Tidak peduli Anda sedang berangkat ke kantor atau pulang ke rumah. Tidak peduli Anda lelaki gagah yang rajin fitness atau wanita cantik gemar berdandan. Tidak peduli Anda seorang manajer di perusahaan multinasional atau seorang kuli bangunan. Hal yang tentu Anda harapkan ketika melangkahkan kaki ke dalam sebuah kereta komuter adalah mendapat tempat duduk.
Menariknya, untuk mendapatkan ruang yang hanya sebesar 0,25 meter persegi ini, warga kereta Jabodetabek membuktikan bahwa mereka adalah ahli siasat yang tak kalah ulung dari Mourinho.
Berikut ini hasil pengamatan saya:
Salah satu strategi teranyar yang banyak dipakai adalah taktik “Serangan Balik”. Caranya, dengan sengaja menaiki kereta yang berlawanan arah (yang nantinya akan kembali ke arah tujuan) demi mendapatkan bangku kosong. Mengorbankan 15 menit tentu harga yang wajar untuk sebuah tempat duduk yang nyaman selama satu-dua jam.
Taktik yang lebih barbar adalah dengan melakukan “Serangan Mendadak” seketika kick-off dimulai. Patut diingat, warga kereta adalah penyerang-penyerang handal yang piawai dalam ruang gerak sesempit apapun dan siap menerjang seketika celah pintu terbuka. Maka Anda yang hendak turun dari kereta pada jam pulang kerja, bersiaplah menahan kejutan ini.
Saran saya, relakanlah gawang Anda kebobolan.
Bagi yang paham karakteristik lawan, taktik “Pengawasan Melekat” bisa dilakukan apabila tidak kebagian tempat duduk. Dengan mengamati kostum dan barang bawaan seseorang, kita dapat menebak kira-kira di mana orang tersebut akan turun — dan langsung merebut kursinya secepat mungkin setelah dia berdiri.
Tetapi penerapan strategi ini tidaklah mudah. Diperlukan riset yang mendalam dan jam terbang yang sangat tinggi.
Di jalur Bogor-Jakarta pada pagi hari, misalnya. Orang yang tampak muda, memakai celana jins dan sepatu keds, membawa ransel atau memegang buku, hampir pasti akan turun di Stasiun Universitas Indonesia atau Universitas Pancasila.
Orang yang membawa tas koper, besar kemungkinan akan turun di Stasiun Gambir untuk bepergian jauh. Sementara orang yang tampak mengenakan kemeja formal dipadu celana bahan, mayoritas turun di Stasiun Tebet, Manggarai, atau Cikini.
Orang yang memakai baju dinas ciri pegawai pemerintah, sangat mungkin akan turun di Stasiun Gondangdia atau Gambir karena kantor-kantor pemerintah banyak tersebar di Jalan Medan Merdeka.
Adapun salah satu strategi kreatif yang patut diacungkan jempol adalah dengan “Swasembada Kursi”. Strategi ini, saya percaya, asli produk Indonesia dan tidak akan ditemukan di negara lain. Warga kereta yang ingin menerapkan strategi ini perlu melakukan persiapan yang matang, yaitu dengan membawa kursi lipat pribadi dan duduk di koridor gerbong. Tentu perlu berhati-hati, karena cara ini agak individualis dan lawan-lawan Anda akan memandang sinis.
Dari semua taktik yang telah saya amati hingga saat ini, ada satu yang tak henti membuat saya berdecak kagum. Taktik ini membutuhkan nyali serta kemampuan menjaga keseimbangan luar biasa dari pemain, dengan risiko yang sangat tinggi. Hanya pemberani sejati yang dapat melakukannya. Nama taktiknya, “Duduk di Atap Kereta”.
Robin Hartanto adalah warga Jakarta yang menghabiskan separuh hidupnya di jalan. Separuhnya lagi dia habiskan untuk bekerja sebagai arsitek junior di Avianti Armand Studio.
Menariknya, untuk mendapatkan ruang yang hanya sebesar 0,25 meter persegi ini, warga kereta Jabodetabek membuktikan bahwa mereka adalah ahli siasat yang tak kalah ulung dari Mourinho.
Berikut ini hasil pengamatan saya:
Salah satu strategi teranyar yang banyak dipakai adalah taktik “Serangan Balik”. Caranya, dengan sengaja menaiki kereta yang berlawanan arah (yang nantinya akan kembali ke arah tujuan) demi mendapatkan bangku kosong. Mengorbankan 15 menit tentu harga yang wajar untuk sebuah tempat duduk yang nyaman selama satu-dua jam.
Taktik yang lebih barbar adalah dengan melakukan “Serangan Mendadak” seketika kick-off dimulai. Patut diingat, warga kereta adalah penyerang-penyerang handal yang piawai dalam ruang gerak sesempit apapun dan siap menerjang seketika celah pintu terbuka. Maka Anda yang hendak turun dari kereta pada jam pulang kerja, bersiaplah menahan kejutan ini.
Saran saya, relakanlah gawang Anda kebobolan.
Bagi yang paham karakteristik lawan, taktik “Pengawasan Melekat” bisa dilakukan apabila tidak kebagian tempat duduk. Dengan mengamati kostum dan barang bawaan seseorang, kita dapat menebak kira-kira di mana orang tersebut akan turun — dan langsung merebut kursinya secepat mungkin setelah dia berdiri.
Tetapi penerapan strategi ini tidaklah mudah. Diperlukan riset yang mendalam dan jam terbang yang sangat tinggi.
Di jalur Bogor-Jakarta pada pagi hari, misalnya. Orang yang tampak muda, memakai celana jins dan sepatu keds, membawa ransel atau memegang buku, hampir pasti akan turun di Stasiun Universitas Indonesia atau Universitas Pancasila.
Orang yang membawa tas koper, besar kemungkinan akan turun di Stasiun Gambir untuk bepergian jauh. Sementara orang yang tampak mengenakan kemeja formal dipadu celana bahan, mayoritas turun di Stasiun Tebet, Manggarai, atau Cikini.
Orang yang memakai baju dinas ciri pegawai pemerintah, sangat mungkin akan turun di Stasiun Gondangdia atau Gambir karena kantor-kantor pemerintah banyak tersebar di Jalan Medan Merdeka.
Adapun salah satu strategi kreatif yang patut diacungkan jempol adalah dengan “Swasembada Kursi”. Strategi ini, saya percaya, asli produk Indonesia dan tidak akan ditemukan di negara lain. Warga kereta yang ingin menerapkan strategi ini perlu melakukan persiapan yang matang, yaitu dengan membawa kursi lipat pribadi dan duduk di koridor gerbong. Tentu perlu berhati-hati, karena cara ini agak individualis dan lawan-lawan Anda akan memandang sinis.
Dari semua taktik yang telah saya amati hingga saat ini, ada satu yang tak henti membuat saya berdecak kagum. Taktik ini membutuhkan nyali serta kemampuan menjaga keseimbangan luar biasa dari pemain, dengan risiko yang sangat tinggi. Hanya pemberani sejati yang dapat melakukannya. Nama taktiknya, “Duduk di Atap Kereta”.
Robin Hartanto adalah warga Jakarta yang menghabiskan separuh hidupnya di jalan. Separuhnya lagi dia habiskan untuk bekerja sebagai arsitek junior di Avianti Armand Studio.
sumber : yahoo